Artikel
FILOSOFI YANG TERKANDUNG DALAM AKSARA JAWA
Oleh : Sri Suprapti, Guru Bahasa Jawa SMP Negeri 8 Surakarta
Filosofi adalah pemikiran yang dilakukan secara mendalam sampai ke akarnya sehingga diperoleh hasil yang fundamental. Sistematis atau berurutan. Sesuai dengan pola menggunakan logika walaupun dapat sebagai asumsi semata.
Aksara Jawa juga dikenal sebagai Hanacaraka, Carakan, Dentawyanjana, Carakan Walik, adalah salah atu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di Pulau Jawa. Aksara Jawa ini terutama digunakan untuk pembelajaran Bahasa Jawa menulis huruf Jawa. Namun aksara Jawa dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa nama jalan, nama kantor, dan sebagainya misalnya untuk bahasa historis seperti sanskerta dan Bahasa kawi.
Menulis aksara Jawa pada hakikatnya sama dengan pengalih hurufan dari abjad latin ke aksara Jawa. Menulis huruf Jawa menuntut adanya pemahaman, ketelitian, dan latihan yang teratur. Hal ini bertujuan supaya dapat menghasilkan tulisan berhuruf Jawa dengan baik dan benar. Tulisan yang baik dalam menulis aksara Jawa dapat dilihat pada ketepatan penulisan aksara Jawa beserta perangkatnya sesuai dengan kaidah penulisan yang berlaku.
Sebagai warisan budaya yang sangat tua tentunya Aksara jawa mempunyai makna filosofi yang mendalam. Dalam Sulaksono ( 2014 :81 ) dijelaskan bahwa makna filosofi yang tekandung dalam aksara Jawa yaitu : Aksara ha sampai nga ditulis dari kiri ke kanan terdiri dari 4 ( empat ) baris dan masing-masing baris ada 5 ( lima ) aksara.
Kedua, aksara Jawa ditulis di bawah garis ( jika tempat penulisannya ada barisnya ). Ketiga, aksara Ra tidak boleh di- pepet sebagai gantinya adalah pa-cerek. Keempat, aksara la tidak boleh di-pepet sebagai gantinya ng-lelet. Kelima, aksara ra tidak dapat dipangku, tetapi diganti cakra. Keenam, aksara la tidak dapat dipangku, tetapi diganti pengkal. Ketujuh, dalam hubungannya dengan waktu, dua puluh ( 20 ) aksara Jawa merupakan jumlah pasaran, yaitu hari dan nama-nama tahun Jawa. Dan kedelapan, Aksara Jawa jika di-cakra tidak mati, tetapi hanya bergetar.
Dalam pembelajaran Muatan Lokal digunakan Bahasa Jawa, sebagai Guru Bahasa Jawa di SMP Negeri 8 Surakarta, Jawa tengah, selalu Penulis sampaikan dalam belajar Aksara Jawa mengenai letak penulisan aksara carakan yang benar adalah apabila menulis di buku tulis menggantung ( nggandhul ) pada garis bukan menumpang garis.
Seperti yang dipaparkan oleh Hakim ( 2005:5 ) bahwa menulis berarti sebagai upaya mengekspresikan apa yang dilihat, dialami, dirasakan, dan dipikirkan dalam bahasa tulisa. Pernyataan tersebut juga dikuatkan oleh Nurudin ( 2007:4 ), yang mengemukakan bahwa menulis adalah segenap rangkaian kegiatan seseorang dalam rangka mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada orang lain agar mudah dipahami.
Dengan pendapat yang dikemukakan di atas bisa disimpulkan bahwa di dalam mengungkapkan pemikiran banyak hal yang perlu diperhatikan, beberapa diantaranya adalah pengetahuan dan pengalaman. Tujuannya agar pembaca dapat mengetahui dan memahami apa yang menjadi pemikirannya mengenai suatu hal. Sebuah penulisan ini berhubungan dengan tersampaikannya sebuah pesan dari penulis kepada pembaca.
Aksara Jawa ditulis dengan menggantung ini mempunyai filosofi makna bahwa gambaran manusia dalam hidup ini tergantung dengan Tuhan Yang Maha Esa. Artinya bahwa gambaran manusia harus selalu mengingat dan menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Orang yang taat kepada Allah SWT akan senantiasa mengerjakan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Apabila perintah tersebut bertentangan, maka tidak dibenarkan untuk mentaatinya.
Manusia yang mempunyai keyakinan seperti itu pasti akan melakukan yang terbaik dalam hidupnya hanya untuk mencari bekal di akhirat nanti. Kesadaran yang tinggi di dalam kehidupan di dunia ini membuat manusia sadar untuk melakukan perintah agama dan menjauhi laranganNya. Semua yang dilakukan selalu tergantung kepada Allah SWT, agar manusia hidup selalu ingat dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
Maka tidak aneh apabila manusia hidup di dunia ini mempunyai agama dan kepercayaan masing-masing. Hidup di dunia hanya sebentar ibarat mung mampir ngombe ( hanya mampir untuk minum ), artinya hanya sebentar saja. Penulisan aksara Jawa yang terbaik berada pada bawah garis (ngisore garis) dengan cara penulisan bagian atas aksara menempel dekat dengan garis dan untuk penulisan bagian bawahnya tidak harus menempel pada garis bawah. Biasanya difungsikan untuk tambahan sandhangan (misal: sandhangan swara suku pangkon, sandhangan lainya), dan pasangan aksara..
Aksara Jawa merupakan media tulis yang digunakan oleh orang Jawa mulai dulu sampai sekarang, namun untuk saat ini orang yang paham tentang aksara Jawa sudah tidak banyak lagi. Aksara Jawa ditulis dengan menggantung pada garis ini tidak serta merta tanpa ada maksud dan tujuannya. Kita semua tahu bahwa orang Jawa sangat kental dengan nilai budi pekerti dan nilai filosofi. Bahwa Orang Jawa berkeyakinan hidup mereka berada di bawah garis kekuasaan Tuhan. Manusia hanya dapat mengubah nasib, bukan takdir. Dengan alasan inilah, penulis menyampaikan makna filosofi kenapa aksara Jawa ditulis dengan menggantung pada garis.
Selanjutnya, mengapa aksara Jawa ditulis miring ke kanan, tidak miring ke kiri?. Sudah penulis jelaskan di atas bahwa segala sesuatu di Jawa ini penuh dengan makna. Oleh karena itu akan penulis bahas kenapa aksara Jawa ditulis miring ke kanan. Agar supaya tidak membingungkan, aksara ditulis miring ke kanan itu sebagai perlambang bahwa hidup di dunia ini harus berjalan dengan baik atau berperilaku yang baik. Perlu diketahui bahwa ngiwa ( ke kiri ) dalam masyarakat Jawa dianggap tidak baik ( konotasi negatif ), yaitu melakukan yang tidak baik. Dengan kata lain bahwa hidup di dunia ini harus berjalan di jalan yang baik.
Aksara ha sampai nga ditulis mulai dari kiri ke kanan yang terdiri dari empat (4 ) baris dan masing-masing baris ada lima ( 5 ) aksara. ( Ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga ). Makna dari tulisan itu adalah bahwa Orang Jawa identik dengan keblat sekawan gangsal pancer. Dalam pemikiran Jawa pengertian Sedulur Papat Limo Pancer (Empat Saudara dan Yang Kelima Tengah) mempunyai pengertian yang terus berkembang dari zaman pra-Islam hingga zaman Islam.
Pengertian asalnya adalah penyelarasan antara jagad kecil (manusia-mikrokosmos) dengan jagad besar Alam Semesta (makrokosmos). Saudara yang empat yang ada di jagad besar itu adalah empat kiblat yang ada yaitu timur, selatan, barat dan utara. Ditambah saudara pancer yaitu tengah dimana diri manusia itu berada. Sedangkan empat saudara yang berkaitan dengan jagad kecil (manusia) adalah apa-apa yang mengiringi kelahirannya. Mereka itu adalah kakang kawah (air ketuban), adi ari-ari (plasenta), getih (darah) dan puser (tali plasenta). Sedangkan yang kelima pancernya adalah diri manusianya itu sendiri.
Penulisan ra tidak boleh di – pepet sebagai gantinya adalah pa-cerek. Maksud dari tulisan ini adalah ra yang artinya roh, sedangkan di -pepet artinya dihentikan. Maksudnya adalah seseorang yang sudah takdirnya meninggal, ketika roh akan meninggalkan raganya, tidak boleh di-pepet atau dihalang-halangi lagi. Oleh karena itu, supaya matinya sempurna atau dengan kata lain Husnul Khatimah maka harus pa –cerek. Pa itu artinya Pangeran dan cerek artinya dekat. Maksudnya, ketika manusia itu masih hidup, haruslah selalu mendekat kepada Pangeran atau Tuhan.
Selanjutnya untuk penulisan aksara la tidak boleh di-pepet dan sebagai gantinya adalah nga-lelet. Maknanya adala bahwa la dapat diartikan dengan lalis artinya mati. Jika manusia sudah saatnya mati tidak dapat dipercepat atau ditunda lagi. Nga lelet terdiri dari aksara nga dapat pasangan na dibaca nga gondhel na, maknanya manusia harus selalu nggondhel, nggandhul atau mengikuti aturan yang berlaku. Untuk aksara ra tidak dapat di-pangku tetapi diganti cakra. Ra dapat diartikan roh, maknanya ketika ada orang yang meninggal, rohnya masih tetap hidup dang anti alam sehingga tidak mati.
Aksara la tidak dapat di-pangku, tetapi diganti pengkal. La dapat diartikan lalis yang arti secara umum adalah mati. Dalam konsep filsafat Jawa, tidak mati tetapi ganti alam, dari alam donya menuju alam kelanggengan. Dalam hubungannya dengan waktu, dua puluh aksara Jawa merupakan jumlah pasaran. Yaitu nama hari ( Senin, Selasa, Rabu, kamis, Jum’at, Sabtu, Minggu ) dan nama tahun Jawa ( Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa , Syawal, Dulkaidah, Besar ). Aksara Jawa mati jika dipangku, hal ini melambangkan bahwa ada manusia yang sulit ditaklukkan dengan kekerasan, tetapi mudah ditaklukkan dengan cara yang halus, dipuji atau disanjung.
Dengan pernyataan seperti tersebut di atas maka orang Jawa menyimbolkan hal tersebut ke dalam penulisan aksara Jawa dengan harapan manusia selalu berbuat kebaikan dalam menjalani kehidupan ini. (HR Bukhari dan Muslim). Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang taat kepada kepada pemimpinnya, maka ia taat kepadaku, barangsiapa taat kepadaku, maka ia taat kepada Allah, barangsiapa menentang pemimpinnya, maka ia menentangku, barangsiapa menentangku, maka ia menentang Allah." Semoga dengan tulisan ini bisa menambah wawasan dan bermanfaat.