Sumber gambar : Koleksi Pribadi Penulis Megawati Sorek
Tulisan ini bermula dengan ingatan penulis pada suatu waktu. Di ruangan guru di saat jam istirahat, semua guru sedang berkumpul, ada yang makan, mengoreksi tugas dan berbincang santai antar sesama rekan kerja. Termasuk penulis pun terlibat obrolan dengan guru senior yang tepat duduk di samping meja kerja penulis. Guru tersebut sudah menerima sertifikasi guru bertahun-tahun lamanya. Kata beliau dana itu sangat membantu untuk biaya kuliah anaknya. Tak lama lagi sekitar lima tahun lebih lagi beliau akan pensiun.
Beliau bercerita dan curhat kepada penulis dengan panjang lebar. Beliau menuturkan bahwa dunia pendidikan zaman sekarang sangat berbeda dengan masanya dulu. Setahu penulis dia mengajar memang sejak masih gadis. Sudah banyak asam garam yang dirasakan. Dulu, siswa patuh-patuh, memiliki kesadaran yang tinggi, dan semangat belajar serta memiliki adab. Berbeda sekali dengan zaman sekarang, menurutnya peserta didik, tidak peduli, apatis, tidak bersemangat untuk berjuang, lembek, tidak menghargai orang lain dan yang paling parah adalah adabnya tidak ada lagi. Berlaku semaunya bahkan sering berkata kasar atau kata-kata tabu. Pemikiran Beliau itu semua pengaruh gawai atau gadget. Penulis pun membenarkan juga apa yang disampaikan oleh sang senior tersebut. Yah, tak dapat dipungkiri begitulah kenyataan selama menjadi guru, dan mengenang diri ini dulunya sebagai siswa. Didikan orang zaman dulu mengucapkannya dengan keras dan disertai sanksinya tetapi ilmunya juga terasa berkah dan melekat. Anak-anak zaman dulu jika mengadu ke orang tua akan ditambah hukumannya. Sadar diri untuk berjuang untuk masa depan lebih cerah juga lebih konsisten.
Orang tua zaman now juga menyerahkan pendidikan seratus persen ke sekolah. Padahal peran utama mereka di rumah sangatlah fatal dalam membentuk karakter anak maupun linkungan juga tak lepas sebagai yang mendukung. Wali murid zaman saat ini lebih suka mengkritik dan tidak menerima jika anaknya dididik, padahal terkadang anaknya yang memang melakukan kesalahan. Bimbingan tegas dianggap sebagai pelanggaran hak asasi dan akhirnya para guru terjerat hukum dan dipidanakan. Paparan beliau ini penulis juga setujui, ada benarnya memang hal tersebut.
Sosok perempuan berkacamata progresif itu bercerita lebih lanjut. Penulis setia mendengarkan dan antusias dengan hal yang akan disampaikannya. Kurikulum kenapa meski berganti-ganti? Tanyanya dengan kening berkerut. Mereka yang tua mengaku dan tidak mengerti teknologi alias gaptek menjadi repot. Senior hanya bisa mengandalkan papan tulis, buku teks dan metode ceramah, sudah cukup. Beliau menambahkan bahwa mendidik dan prilaku siswa yang utama perlu diajarkan adalah akhlaknya. Keluhannya lagi anak sekarang susah sekali mau diberi nasihat dan banyak yang salah kaprah.
Setelah sekian lama hanya diam mendengarkan maka penulis mulai memberikan sedikit tanggapan dengan menjelaskan secara berlahan bahwasanya kurikulum berganti pasti ada alasan yang mendasarinya. Lalu, tentunya sudah memikirkan dan meneliti, meluncurkan dan menguji coba dan melibatkan semua pemerhati pendidikan serta pemangku kepentingan terkait. Penulis juga menjelaskan bahwa siklus berubah karena tuntutan zaman sudah berubah. Kurikulum baru yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran, memenuhi kebutuhan murid, agar sumber daya yang ada dimanfaatkan secara optimal, perubahan kurikulum tentunya melihat dan berupaya mempersiapkan generasi mendatang yang mampu secara global, karena dunia saat ini tanpa batasan. Ditambah lagi kemajuan teknologi yang sangat pesat, dunia kerja harus memiliki kompetensi dan keterampilan.
Maka sebaiknya yang dilakukan oleh kita guru adalah membuka diri, beradaftasi serta semaksimal mungkin mengimplementasikan kurikulum tersebut dengan tepat dan tentunya diawali dengan harus belajar, dan bersiap. Hal ini, sudah tidak bisa ditawar lagi. Ikuti dengan ikhlas dan harapan agar bisa membawa para peserta didik menjadi insan yang dibanggakan.
Guru senior itu pun mengangguk setuju dengan penjelasan penulis. Maka selanjutnya penulis memperkenalkan platform yang harus beliau unduh dan mengajarkannya cara menggunakan fitur-fitur yang tersedia. Beliau sangat cepat mengerti ternyata. Beliau mengaku bahwa sangat aktif bermain media sosial. Penulis tahu jika soal itu, keseharian Beliau suka membuat story, reel, siaran langsung, dan terkadang mengunggah video. Bahkan jika disaat jam kosong Beliau berselancar ke konten-konten platform digital.
Penulis pun menambah bahan diskusi tentang platform media sosial. Penulis menjelaskan secara singkat sepengetahuan penulis tentang kejahatan siber, penipuan, peretasan, teror dan perundungan dan UU ITE. Tak lupa penulis juga mengatasnamakan guru dan siswa yang juga merupakan bagian dari netizen, mengingat beliau adalah seorang guru, maka perlu dijelaskan ciri khas netizen jika berdasarkan profilnya.
Biasanya para siswa kita akan suka terhubung dengan sesama teman sebaya dan memiliki minat yang sama. Juga lebih suka yang singkat, konten video dibanding literasi baca-tulis yang panjang. Anak sekolahan juga cenderung aktif menggunakan emoji maupun stiker dalam percakapan online. Ditambah tingkat kecanduannya yang sangat tinggi, hidup ketergantungan dengan ponsel. Sering membuat selfi, berfoto dan video, bisa saja bahkan berprilaku yang melebihi batas.
Sedangkan guru biasanya berbicara formal, harus menjaga sikap sesuai karir, fokus pada konten yang relevan dengan dunia pendidikan, ahli berargumen dan komunikatif bersosialisasi.
Intinya adalah yang paling penting bagi netizen yang perlu diingat adalah berbicara, menulis, berprilakulah yang sopan sesuai norma yang berlaku. Jangan cepat menyampaikan isu atau informasi yang belum jelas kebenarannya dan tidak terverifikasi. Saling menghargai perbedaan pendapat, tidak menyerang dan melakukan perundungan. Budayakan membaca, memahami, menyampaikan suatu bacaan sampai selesai sebelum menyampaikan atau memberikan komentar. Tidak ikut-ikutan latah dan memposting atau mengunggah hal yang dilarang maupun kebencian, pencemaran nama baik. Tetap selalu mejaga data pribadi atau informasi orang lain dan tidak menyebarkannya tanpa persetujuan. Pandai melakukan filter antara yang baik dan buruk jika dilakukan, berpegang teguh pada aturan, menghindari konflik serta menghargai hak cipta orang lain dengan tidak menjadi plagiat.
Keasyikan kami bercerita sampai-sampai waktu berjalan tak terasa. Guru piket membunyikan bel masuk, saya pamit melanjutkan pembelajaran dan meninggalkannya. Beliau berkata bahwa jamnya nanti lanjut dijam terakhir lagi. Jam tengah ini diisi oleh guru bidang studi. Beliau mengutarakan niatnya yang ingin membuka platform pendidikan yang kami unduh tadi untuk mencari pelatihan guru serta pelatihan in house training yang akan Beliau ikuti. Syukurlah! Semoga senior akan tergerak, bergerak dan bergerak untuk melakukan perubahan dengan mengambil keputusan untuk merancang strategi pembelajaran yang lebih baik, misalnya saja pembelajaran yang berbasis Teknologi Komunikasi dan Informasi dengan masih memerhatikan nilai-nilai humanistik, keterampilan kritis, kreativitas dan empati serta karakter unggul tetap menjadi prioritas utama tentunya.
Penyunting: Putra