Guru dapat diartikan sebagai profesi yang tugasnya terkait dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspek, baik intelektual, emosional maupun spiritual. Guru dalam Bahasa Jawa adalah menunjuk pada seorang yang harus digugu dan ditiru oleh semua murid dan bahkan masyarakatnya. Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua murid. Dalam bahasa teknis edukatif, guru terkait dengan kegiatan untuk mengembangkan peserta didik dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Guru mengembangkan potensi positif jasmani dan rohani peserta didik.
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen disebutkan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Bahasa Jawa ada istilah “jarwa dhosok” / “Kerata basa” adalah mengartikan kata atau tembung jawa melalui suku katanya.
Diotak-athik hingga cocok, atau digothak-gathukke menurut arti kalimat yang sesuai. Biasanya orang jawa sangat kreatif dalam menjabarkan arti kata. Misalnya kata "cangkir" kerata basanya "cang; nyancang, dan kir; pikir = nyancang pikir, kata "desember" kerata basanya "de; gedhe-gedhene, dan sember; sumber = gedhe-gedhene sumber, dan lain-lain.
Disebut Jarwa dhosok karena berasal dari kata jarwa yang artinya penjabaran atau keterangan, dhosok berarti mendesak maju. Jarwa dhosok dapat artikan keterangan menurut penjabaran kata dengan dikira-kira atau menurut pikiran orang yang menerangkan). Sebagai guru harus ditiru, artinya seorang guru harus menjadi suri tauladan ( panutan ) bagi semua muridnya.
Akan tetapi banyak juga kita lihat guru yang tidak memiliki kepribadian yang baik, bahkan menjadi pendidik yang kasar dan keras dengan perilaku yang tidak layak dijadikan sebagai panutan. Bahkan ada Guru yang tidak memahami kondisi rekannya yang sedang ada masalah. Memahami saja tidak mau apalagi peduli!.
Saya teringat sebuah quote yang disampaikan oleh Orang Tuaku ( Ayah ) yang kebetulan waktu itu menjadi Kakancam, saat itu beliau berkata: ketika masih kecil saya ingin menjadi Lurah, karena kebetulan Orang Tua beliau ( kakek saya ) adalah Lurah. Kenyataannya Ayahku tidak menjadi Lurah bagi Masyarakat, namun menjadi Lurahnya Guru. Beliau juga berpesan, jika suatu saat nanti kalian sukses dan suatu hari bertemu salah seorang bapak/ibu guru kalian saat sekolah, jangan pernah menyebut mereka mantan guru. Karena guru tidak akan pernah menjadi seorang mantan. Guru akan tetap menjadi guru kalian sampai kapanpun nanti.
Ibarat ilmu-ilmu yang telah mereka berikan pada kalian hingga kalian bisa menjadi orang sukses nanti, ilmu-ilmu itu akan tetap abadi pada kalian, tak akan pernah berubah sebutannya. Begitulah makna seorang guru dalam hidup kalian sebenarnya. Tidak akan pernah ada yang namanya mantan guru. Ternyata setelah saya menjadi Guru memang begitulah kenyataannya. Tidak ada mantan Guru!.
Apalagi sebagai Guru Bahasa Jawa salah satu Sekolah Negeri di Surakarta, yang seharusnya bisa menjadi contoh dan bisa ditiru bagi Peserta Didik dan orang lain. Perlu dipahami juga bahwa Guru Bahasa Jawa juga manusia biasa, yang banyak salah dan kurangnya, tidak semuanya bisa menjadi contoh. Ambillah contoh yang baik saja, karena tidak semua contoh itu baik. Contoh itu ada yang baik dan ada yang buruk. Orang yang professional mestinya akan mengambil contoh yang baik-baik saja.
Menjadi Guru khususnya Guru Bahasa Jawa, tidak ada rasa bosan-bosannya dalam bercerita kepada Peserta Didik, selain memberikan contoh juga harus banyak untuk memberikan pendidikan karakter sesuai dengan aturan yang ada dalam kehidupan di masyarakat Jawa. Banyak sekali yang bisa disampaikan, karena memang pembelajaran Bahasa Jawa penuh dengan pendidikan karakter. Misalnya saja dalam Kawruh Basa, Kasusastran, Paramasastra, Asal-usul Aksara Jawa, Wayang, Silsilah Pewayangan, dan Gamelan.
Mempelajari pendidikan karakter dari mata pelajaran Bahasa Jawa, selain memahami karakter yang harus dilakukan demi kehidupan yang lebih baik, juga sekaligus melestarikan budaya Jawa agar tidak hilang dari bumi Indonesia yang indah ini.
Sebagai Guru Bahasa Jawa dalam mengembangkan tugas dan kewajibannya, juga harus memiliki kepribadian yang mantap dan patut untuk diteladani. Harus memiliki pengetahuan yang luas, mendalam dari bidang studi Bahasa Jawa, mampu berkomunikasi baik dengan Peserta Didik, sesama Guru maupun Masyarakat luas. Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005, kompetensi guru terdiri atas kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional, yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Setiap orang pasti ingin menjadi guru, namun tidak semua orang yang bisa menjadi guru sebab menjadi guru itu suatu pekerjaan yang dilaksanakan dengan penuh kesabaran dan penuh dedikasi yang tinggi. Seorang guru diberikan amanat untuk mencerdaskan anak bangsa menjadi orang baik dan orang yang berguna.
Untuk itu pembentukan karakter Peserta Didik tidak bisa hanya dibebankan kepada Guru Bahasa Jawa saja melainkan juga butuh kerjasama yang baik antara sesama rekan Guru, Orang Tua, dan lingkungan masyarakat. Sehingga karakter dan moral Peserta Didk tetap terjaga dengan baik.
Dengan pembahasan seperti tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang Guru Bahasa Jawa harus bisa menjadi contoh, dapat dipercaya, selalu menjaga diri agar tidak mudah untuk meremehkan orang lain. Karena bisa jadi orang yang diremehkan itu kenyataannya melebihi dari dirinya dalam segalanya. Allah tidak menginginkan kepada orang yang sifatnya sombong, selalu menganggap dirinya itu lebih baik dari orang lain. Yang lebih utama adalah menjadi orang yang mempunyai rasa “aja dumeh” ( jangan mentang-mentang ).