Jalan hidup orang tidak ada yang tahu. Semua menjadi rahasiaNya. Semua takdir yang ada dalam genggamanNya yang harus dijalani semua manusia, termasuk saya. Lahir di kota Semarang yang panas, saya menempuh pendidikan dari TK sampai SMP pada sekolah swasta. Baru pada jenjang pendidikan SMA sekolah pada sekolah negeri.
Pernah saya bertanya kepada orang tua mengapa saya dari TK sampai SMP di sekolahkan di sekolah swasta bukan di negeri saja. Orang tua terutama ibu sengaja memilihkan sekolah swasta karena ingin mengenalkan pendidikan agama sejak dini sehingga kelak ketika dewasa bisa menjadi orang yang beragama dengan baik dan berilmu yang mumpuni. Meskipun menurut saya pribadi, saya yakin semua sekolah baik itu yang swasta maupun negeri pastinya sama-sama mengajarkan ilmu agama dan umum. Mungkin yang berbeda adalah propsentase pada jam mengajarnya saja. Di sekolah swasta pastinya ilmu agamanya lebih banyak dan durasi jamnya lebih panjang atau lama dibandingkan dengan sekolah negeri.
Saya baru tersadar setelah lulus SMA nanti ingin menjadi mau apa, bekerja berprofesi apa dan dimana muncul sewaktu berada di kelas 3 SMA, yaitu tepatnya di tahun 1998. Mungkin menurut sebagian orang beranggapan saya terlambat dalam menentukan masa depan saya karena tersadarnya baru atau setelah ada di kelas 3 SMA. Saya masih ingat betul ketika itu guru BK saya memanggil ke ruangannya untuk menghadap empat mata karena ada keperluan mengenai hasil akademik saya selama ini. Perasaan takut dan malu melintas dipikiran saya. Pasti saya akan dihukum atas hasil akademik yang saya peroleh selama ini. Karena saya menyadari kalau prestasi akademik sekolah pas-pasan saja.
Alhamdulillah apa yang saya pikiran tidak terjadi, justru sebaliknya. Saya mendapat kabar gembira, yaitu memperoleh undangan masuk perguruan tinggi (PT) negeri tanpa jalur tes. “Ini ada undangan masuk Unnes (Universitas Negeri Semarang) tanpa tes, tinggal masuk saja. Ini dari fakultas ilmu pendidikan jurusan PPKn. Kamu mau atau tidak?” kata bu Tia, guru BK saya waktu itu.
Saya senang, dan kaget sekaligus sedih. Rasanya campur aduk. Ada rasa bahagia dan bangga mendengar kabar tersebut. Dari sekian banyak banyak teman-teman kelas 3, saya terpilih menjadi salah satu siswa yang beruntung mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri, yaitu Unnes.
Akan tetapi penawaran dari Unnes tersebut saya tolak dengan halus dikarenakan faktor biaya. Saya sadar, saya berasal dari keluarga kurang mampu. Saya merasa tidak akan mampu membayar biaya kuliah yang sangat besar meskipun saya mendapat undangan masuk Unnes tanpa tes. Bapak saya bekerja sebagai tenaga serabutan. Sedangkan ibu saya berjualan nasi di rumah tiap pagi. Saya harus ikhlas dan merelakan kesempatan untuk kuliah di Unnes tersebut. Unnes adalah salah satu PT negeri yang sangat terkenal di kota Semarang dan termasuk universitas favorit di Jawa Tengah, bahkan ditingkat nasional.
Dulu cita-cita saya ketika kecil kalau ditanya orang pasti saya menjawab ingin menjadi seorang dokter. Waktu itu saya beranggapan bahwa dengan menjadi dokter bisa banyak menolong orang-orang yang sakit agar bisa cepat sembuh dan itu adalah salah satu profesi yang mulia.
Seiring berjalannya waktu, tingkat kedewasaan seseorang juga berkembang dan meningkat. Saya pun mengalami hal tersebut. Kejadian ini terjadi tepat ketika saya lulus dari SMA. Jalan hidup saya berubah. Dari yang tidak ingin melanjutkan pendidikan setelah SMA dan ingin langsung bekerja mendadak ingin melanjutkan studi untuk kuliah dengan biaya pendidikan yang murah. Syukur-syukur dapat beasiswa.
Mencari info-info tentang PT yang berkualitas dan murah di Semarang, maka setelah sekian hari hunting, maka alhamdulillah mendapatkan apa yang saya cari dan pada akhirnya saya melanjutkan pendidikan dengan kuliah Diploma Tiga (D3) di salah satu PT swasta di Semarang dengan memilih jurusan Public Relations. Banyak pengalaman dan kenangan ketika berstatus mahasiswa tersebut. Salah satunya yaitu dapat magang menjadi wartawan disalah satu media terbesar di kota Semarang. Selama kurang lebih 3 bulan menjadi wartawan menjadikan saya tertarik untuk terjun bekerja di dunia jurnalistik.
Pernah meliput berita kriminal di penjara Polrestabes Kota Semarang dengan mewawancarai pelaku kriminal penodongan dan perampasan sepeda motor. Rasa takut dan cemas menghantui diri. Pelaku bertato, berbadan tinggi besar, kekar dan berperawakan sangar. Membuat diri ingin cepat-cepat menyudahi wawancara dan cepat-cepat pulang. Ketika saya bertanya motif apa dalam melakukan penodongan dan perampasan, pelaku menjawab, “Saya terpaksa. Saya butuh uang banyak untuk membiayai pengobatan anak saya yang sedang sakit keras terbaring di rumah sakit,” papar pelaku.
Lain lagi ketika berkesempatan bisa bertemu secara langsung dengan pemain-pemain PSIS Semarang. Hati senang dan gembira bukan kepalang. PSIS adalah salah satu klub idola saya. Melihat langsung mereka latihan dan mewawancarai mereka. Salah satunya yaitu Nurul Huda. Pemain tengah sebagai playmaker dan penyeimbang lapangan tengah. Beliau sosok pemain yang humble dan rendah hati.
Meskipun sudah menjadi pemain yang hebat dan terkenal ia tidak sombong. Ketika ditanya tentang permainannya yang semakin matang dan berkembang, ia menjawab, “Semua teman-teman di tim PSIS sangat hebat dan kompak. Kami bekerja keras dan ingin memberikan yang terbaik untuk PSIS dan supporter Semarang. Mohon doanya agar kami bisa menang disetiap pertandingan,” pintanya. Banyak kenangan yang masih tersimpan rapi dan indah dalam ingatan ketika menjadi wartawan magang.
Ketika kuliah D3 tersebut saya sambil bekerja dengan membuka les privat. Hasil dari les privat tersebut untuk tambahan biaya kuliah. Dan alhamdulillah tepat 3 tahun saya dapat lulus. Saya gembira dan sangat bersyukur. Orang tua dan keluarga juga sangat senang sekali. Akan tetapi kegembiraan tersebut hanya sementara. Saya harus mendapat pekerjaan. Akan tetapi Qadrullah (ketentuan Allah) saya belum dapat-dapat kerja. Dan saya akhirnya beranikan diri untuk merantau ke Jakarta ikut kakak ipar. Selama mencari kerja di Jakarta saya ikut membantu dengan menjadi pelayan di warung tenda berjualan Sop Betawi.
Hampir 4 bulan penuh merantau di Jakarta saya belum juga mendapat pekerjaan. Dan saya memutuskan untuk pulang kembali ke Semarang. Alhamdulillah berbekal ijazah D3, saya setelah sekian lama mencari-cari pekerjaan akhirnya mendapat juga, yaitu menjadi seorang guru TK (Taman Kanak-kanak) di sekolah swasta. Laki-laki menjadi seorang guru TK.
Di sinilah awal mula saya berprofesi sebagai guru. Profesi yang selama ini jauh dari benak saya. Tak disangka tak diduga. Pertama masuk kerja betapa senang hati ini. Akan tetapi rasa grogi dan takut menyelimuti diri. Grogi dan takut mengahadapi anak-anak kecil dan orang tuanya. Hari pertama saya cuma ikut mendampingi saja, tidak ikut mengajar.
Waktu itu kepala sekolah saya mengatakan bahwa inti mengajar adalah dengan hati. Hadapi anak-anak dengan hati. Ada anak yang suka lari-lari, pendiam, suka berantem, dan riang ceria adalah macam-macam karakter anak. Hadapi semua dengan hati, insyaaAllah akan dimudahkan oleh Tuhan. “Pak, mengajar anak TK itu gampang-gampang susah, yang terpenting hadapi dengan hati. Mereka adalah generasi penerus bangsa. Ajari mereka dengan adab dan bekali ilmu pengetahuan serta ketrampilan hidup untuk hari depan mereka,” pesan bu Endang kala itu.
Sejak saat itu saya berusaha untuk menjadi guru yang mengajar dengan hati. Akan tetapi ketika sedang senang-senangnya menjadi guru dan mengajar, ternyata kontrak saya menjadi guru selama 1 tahun berakhir. Dan saya pun menganggur lagi.
Saya harus bekerja lagi, dan alhamdulillah selang tidak lama saya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru lagi, yaitu di TK Islam Sultan Agung 4 Semarang. Di tempat ini saya merasa sangat bersyukur sekali karena disekelilingi dengan teman-teman yang sangat cerdas. Baik itu cerdas ilmu agama dan juga ilmu umumnya, termasuk ilmu IT.
Di TK tempat saya bekerja ini, saya juga dituntut bisa mengembangkan keilmuan saya supaya lebih berkompeten lagi. Dan akhirnya saya menempuh pendidikan S1 saya dengan menimba ilmu di kampus UPGRIS (Universitas PGRI Semarang) dengan jurusan Bimbingan Konseling dikarenakan saya sangat senang dengan ilmu psikologi anak-anak. Setelah lulus dari S1 BK saya putuskan untuk kuliah lagi pada jurusan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di Universitas Terbuka.
Menjadi guru di TK Islam Sultan Agung 4 ini saya benar-benar dibentuk dan didesain untuk menjadi seorang pendidik yang benar-benar pendidik, yaitu seorang guru yang mempunyai bekal agama dan umumnya juga. Iman dan Iptek berjalan beriringan. Mengajar adalah ibadah, maka harus sungguh-sungguh. Di bawah Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung (YBWSA) ini saya juga berkesempatan untuk menjadi relawan Trauma Healing ke palu dan ke semeru. Membantu anak-anak korban bencana alam untuk bangkit dan menghilangkan trauma yang ada dengan bercerita atau mendongeng.
Suka duka menjadi relawan di Palu sangat menyentuh hati. Kepolosan anak-anak korban gempa dan tsunami adalah semangat saya dalam mendongeng. Mereka inspirasi saya untuk selalu bersyukur kepada Tuhan kapan dan dimanapun berada. Mereka tersenyum adalah obat untuk diri.
Sama seperti di Palu, anak-anak korban erupsi gunung semeru juga adalah anak-anak yang polos dan butuh sosok penghibur. Di sanalah saya ditakdirkan hadir untuk menghibur dan memberi semangat anak-anak. Menjadi guru adalah panggilan jiwa, hadapi anak-anak dengan hati. InsyaaAllah dengan itu kita akan dimudahkan dalam mengajar dan mendidik anak-anak.
#GuruInovatif #LombaArtikel