Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Hal ini menjadi dasar bagi setiap warga negara Republik Indonesia untuk memperoleh pendidikan dasar. Maksud pendidikan dasar disini berupa sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar, yang meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung (calistung) serta menggunakan bahasa Indonesia, yang diperlukan oleh setiap warga negara untuk dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Namun, nyatanya ada sebagian kelompok masyarakat yang cenderung dipandang sebelah mata untuk mendapatkan hak dasar ini yakni, masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus. Sebenarnya solusi untuk mengatasi hal ini sudah ada, tetapi masyarakat belum mengetahui secara luas solusi ini. Solusi tersebut adalah dengan menerapkan pendidikan inklusif.
Dalam artikel ini, kami akan membahas beberapa miskonsepsi pendidikan inklusif yang beredar di masyarakat. Jadi, simak artikel ini sampai akhir ya.
Pendidikan Inklusif Sebagai Solusi Pemenuhan Kebutuhan Dasar Warga Negara UUD 1945 pasal 31 ayat 1 menjadi pernyataan yang jelas dalam menjamin semua warga negara berhak mendapat pendidikan yang bermutu, terlepas dari kelainan fisik, emosional, mental, sosial ataupun bakat istimewa yang dimiliki tanpa adanya sikap diskriminatif. Undang-undang ini menjadi cikal bakal terciptanya sistem pendidikan yang dapat mewadahi seluruh siswa dengan keistimewaanya masing-masing di tengah-tengah masyarakat atau yang lebih dikenal sebagai pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus dapat belajar di sekolah-sekolah terdekat, di dalam kelas umum bersama teman-teman seusianya. Tujuan dari pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Baca juga:Wawasan Wiyata Mandala untuk Menciptakan Pendidikan Inklusif
Sehingga penyelenggaraan pendidikan inklusif bisa diartikan sebagai sebuah upaya untuk menciptakan sebuah lingkungan agar peserta didik berkebutuhan khusus dapat belajar, bermain, dan beriteraksi dengan semua anak seusianya.
Mitos dan Miskonsepsi Mengenai Pendidikan Inklusif Mungkin karena pendidikan inklusif ini mengaitkan interaksi antara siswa berkebutuhan khusus dengan siswa normal lainnya di dalam satu kelas yang sama, memunculkan beberapa miskonsepsi mengenai pendidikan inklusif. Berikut ini adalah beberapa mitos dan miskonsepsi terhadap penerapan pendidikan inklusif:
1. Inklusi adalah ide yang tidak realistis Perlu Anda ketahui, banyak negara yang telah menyediakan layanan pendidikan inklusif selama beberapa dekade. Di Indonesia sendiri, sudah ada sekolah-sekolah yang telah menyediakan layanan pendidikan inklusif ini seperti:
Sehingga, pernyataan tersebut tidak relevan dan membuktikan bahwa ide pendidikan inklusif adalah hal yang realistis dan dapat diterapkan.
2. Pendidikan inklusif adalah pendekatan sederhana bersifat universal yang tidak akan berhasil Inklusif bukan berdasar dari gagasan bahwa satu untuk semua. Ruang kelas inklusif dibangun berdasarkan pendekatan terhadap kurikulum serta pengajaran yang menyesuaikan kebutuhan dan gaya belajar siswa. Hasil pembelajaran akan disesuaikan dengan mengakomodir perbedaan di kalangan siswa. Sehingga guru yang mengajar di kelas inklusif telah memiliki pemahaman bahwa tidak semua siswa akan mempelajari hal yang sama dengan kecepatan yang sama.
Memperoleh pendidikan adalah hak dasar manusia tanpa terkecuali orang yang memiliki disabilitas atau keistimewaan lainnya (Gambar: Getty Images/AndreyPopov) 3. Pendidikan inklusif hanya diperbolehkan bagi sebagian orang, namun tidak dengan orang disabilitas intelektual Pernyataan sejenis ini merupakan sikap yang memandang remeh terhadap siswa yang memiliki disabilitas intelektual dan mengabaikan potensinya. Karena pernyataan ini seperti mempertanyakan kapasitas mereka untuk belajar dan mengabaikan potensi kontribusi mereka untuk menjadi bagian dari sekolah dan komunitas masyarakat.
Menghargai hak anak untuk menjadi bagian dari kelompok teman sebayanya di sekolah adalah hal penting dan mendasar pada abad ke-21 terhadap hak asasi manusia dan kesetaraan, sebagaimana organisasi dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendukung dalam penyelenggaraan Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas. Sehingga sudah waktunya kita justru bertanya “Apa yang dibutuhkan guru untuk membantu mereka mempelajari ilmu serta keterampilan yang penting dalam kelas reguler?”.
4. Siswa dengan disabilitas akan dirundung atau di-bully dalam sekolah inklusif Salah satu tujuan dari pendidikan inklusif adalah untuk menciptakan dan mempertahankan budaya bahwa setiap individu dalam lingkungan sekolah adalah berharga. Untuk mewujudkan hal ini berjalan, maka setiap individu sekolah baik siswa, staf sekolah, guru, hingga Kepala Sekolah perlu memiliki wawasan inklusif melalui peraturan sekolah.
Baca juga:Ternyata Peran Guru Menjadi Rahasia Sukses Penerapan Pendidikan Inklusif!
Jika terjadi kasus bullying atau perundungan di lingkungan sekolah, maka hal ini dapat ditanggapi dengan baik dan dapat dijadikan sebagai pembelajaran. Pada akhirnya sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif lama-kelamaan akan menciptakan perilaku yang lebih baik. Bahkan, siswa sekolah inklusif dapat menjadi agen yang mempromosikan lingkungan sekolah yang positif.
Sebagai hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1, mewujudkan sekolah, pendidikan, serta lingkungan inklusif berarti merintis jalan menuju pendidikan yang lebih holistik, merata, dan memberdayakan serta menciptakan generasi yang siap menghadapi kompleksitas masyarakat dengan pemahaman dan empati yang lebih mendalam.
Berdasarkan pada Rapor Pendidikan Nasional 2023, hasil penerapan iklim inklusivitas secara nasional untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat masih berada di kategori “Kurang”, sedangkan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat dinyatakan “Baik”. Oleh karena itu, mengevaluasi kondisi lingkungan sekolah yang terbuka terhadap perbedaan juga menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini dapat diukur melalui Asesmen Nasional (AN).
Kolaborasi antara pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat menjadi kunci untuk menghadapi berbagai tantangan yang ada serta mengoptimalkan pendidikan inklusif di Indonesia.
Dapatkan pelatihan privat di sekolah Anda untuk meningkatkan kompetensi serta akademik sekolah bersama trainer pilihan.
Konsultasi GRATIS!
Referensi: Inclusion: Myths and Misconceptions Problematika Pendidikan Inklusi di Indonesia Tantangan dalam Mewujudkan Pendidikan Inklusif
Penulis: Eka | Penyunting: Putra