Artikel
TRADISI RUWATAN ( BEBASKAN DARI MARABAHAYA DAN KESIALAN ) YANG PENUH MAKNA
Oleh : Sri Suprapti, Guru Bahasa Jawa SMP Negeri 8 Surakarta
Tradisi Ruwatan adalah salah satu bentuk upacara atau ritual penyucian yang hingga saat ini tetap dilestarikan oleh masyarakat Demak, Jawa Tengah. Tradisi ini diberlakukan untuk melestarikan ajaran dari Kanjeng Sunan kalijaga dan digunakan bagi orang yang Nandang Sukerta atau berada dalam dosa.
Meruwat bisa berarti mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan batin dengan cara mengadakan pertunjukan atau ritual. Umumnya ritual tersebut menggunakan media Wayang Kulit yang mengambil tema atau cerita Murwakala. Istilah Ruwat berasal dari istilah Ngaruati yang memiliki makna menjaga kesialan Dewa Batara.
Di dalam kehidupan Masyarakat Jawa, dikenal tradisi ruwatan. Sedangkan ruwatan adalah salah satu ritual penyucian yang masih banyak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Tradisi ini dilakukan dengan menggunakan media Wayang Kulit. Tradisi ini dapat dilakukan oleh orang Jawa ketika mengalami kesialan dalam hidup.
Dalam Bahasa Jawa, ruwat sama dengan kata luwar yang artinya lepas atau terlepas. Seorang Dalang bertanggungjawab atas kesialan serta kemalangan karena orang yang diruwat sudah menjadi anak si Dalang.Dari cerita pewayangan ini, Masyarakat Jawa meyakini bahwa tradisi ruwatan sangat penting untuk mereka yang menginginkan keselamatan.
Tradisi ruwatan tidak terlepas dari pertunjukan wayang yang menceritakan tentang Murwa Kala yang menjadi muasal sejarah tradisi tersebut. Karena untuk melaksanakan pertunjukan wayang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tradisi ngruwat biasa dilakukan secara bersama-sama dalam lingkup pedukuhan atau desa.
Dalam konteks zaman sekarang, ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil darai tradisi ruwatan. Jika dalam ruwatan seseorang yang akan diruwat membutuhkan dalang yang ahli dalam bidang ruwat, maka untuk membersihkan diri kita dapat memulainya dari diri kita sendiri. Menjadi pribadi yang berkepribadian luhur serta menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma di lingkungannya secara tidak langsung mampu memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan di sekitarnya
Upacara Ruwatan biasa dilakukan orang Jawa ketika mengalami kesialan hidup. Sebagai misal adalah anak sedang sakit, anak tunggal yang tidak memiliki adik maupun kakak, terkena sial, jauh jodoh, susah mencari kehidupan dan lain sebagainya. Ruwatan ini sangat penting khususnya masyarakat Kejawen. Kejawen merupakan kepercayaan asli Jawa atau kebatinan. Kebatinan merupakan system kepercayaan yang memberikan dorongan orang yang melaksanakan ruwatan adalah bagi anak-anak yang mempunyai nasib buruk.
Tradisi ruwatan mempunyai makna filosofis dalam tahapan prosesi upacaranya, antara lain : 1) prosesi siraman secara filosofis mengandung nilai pembersih badan agar manusia yang diruwat dengan menggunakan air terdiri atas kembang kenanga, kembang melati, dan kembang mawar 2) Sesaji dan selamatan secara filosofis memiliki nilai agar orang yang diruwat dalam keadaan selalu selamat
Selanjutnya 3) Nilai filosofis yang terkandung dalam upacara penyerahan sarana adalah memberikan perlindungan terhadap orang yang tergolong sukerta 4) Upacara potong rambut memiliki nilai filosofis yaitu bahwa segala yang kotor harus dipotong dan dibuang 5) Nilai filosofis dalam tirakatan merupakan ungkapan rasa syukur dan ungkapan rasa terima kasih terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas perlindungan dan anugerahnya 6) Wayang juga membawa makna filosofis bagi kehidupan manusia. Manusia pada umumnya menginginkan kebaikan, maka kisah wayang itu banyak yang bisa masuk sampai ke hati.
Makna wayang dalam ruwatan juga membawa makna kehidupan. Pelaksanaan ruwatan ini ada hubungannya dengan makna dari kesucian jiwa dan raga dalam kepercayaan masyarakat jawa. Oleh karena itu sebelum pelaksanaan ruwatan harus melaksanakan tapa brata ( ngelakoni tapa ).
Kesucian jiwa raga adalah mencapai ketenteraman dan kesucian lahir dan batin. Selain itu juga mencapai kehidupan yang lebih baik dan suci lahir batin. Pelaksanaan ruwatan juga bermakna untuk mencapai tujuan hidup manusia Jawa tersimpul dalam unen-unen, mati sajroning urip, urip sajroning pejah artinya bahwa yang hidup tetap hidup tetapi yang mati adalah nafsu lahirnya.
Unen-unen ini mengandung pesan bahwa hidup manusia hendaknya bisa mengendalikan hawa nafsu. Orang yang tidak bisa menguasai nafsu berarti mati. Sebaliknya jika orang hidup tanpa nafsu adalah mati juga. Hidup manusia itu silih berganti seperti halnya perputaran roda.
Dalam buku Bratawidjaja karya Thomas Wiyasa, yang berjudul Upacara Tradisional Masyarakat Jawa (1988),orang-orang yang termasuk golongan Sukerta, antara lain: 1) Ontang-anting: anak laki-laki tunggal dalam keluarga, tak punya saudara kandung 2) Unting-unting: anak perempuan tunggal dalam keluarga 3) Gedhana-gedhini: dua anak dalam keluarga, laki-laki dan perempuan 4) Uger-uger lawang: dua anak laki-laki dalam keluarga 5) Kembar sepasang: dua anak perempuan dalam keluarga 6) Pendhawa: lima anak laki-laki dalam keluarga 7) Ngayomi: lima anak perempuan dalam keluarga 8) Julungwangi: anak lahir pada saat matahari terbenam 9) Pangayam-ayam: anak lahir saat tengah hari.
Dalam prosesi tradisi ruwatan, ada sejumlah syarat yang harus dilakukan, yakni menyediakan peralatan ruwat, sajian, korban, atau mantera yang dijadikan sarana untuk menjembatani komunikasi antara manusia dengan kekuatan penyelamat yang diinginkan.
Van Baal dalam bukunya (1988),mengungkapkan bahwa sajian merupakan pemberian atau persembahan kepada dewa dan roh. Sajian yang diberikan tidak hanya bertujuan sebagai persembahan, tetapi mengandung lambang-lambang yang digunakan sebagai media untuk berkomunikasi dengan dewa tersebut.
Misalnya itik, menthog, dan burung merpati yang dinilai menjadi kegemaran Betara Kala. Sedangkan, kain bangun tulak adalah kain kegemaran Batari Durga, kain pandhan binethot kegemaran Batari Sri. Sajian tersebut harus dipenuhi saat mengadakan tradisi ruwatan. Sebab, kalau kurang lengkap kemungkinan besar upacara itu tidak mencapai maksud yang dikehendaki, bahkan dapat mendatangkan bencana.
Dengan pernyataan seperti yang sudah penulis tulisakan di atas bisa disimpulkan bahwa Tradisi ruwatan dilakukan sebagai suatu permohonan agar manusia diselamatkan dari gangguan dan bencana yang mengancam hidup dan kehidupannya. Tradisi ruwatan yang biasanya digelar bertepatan oleh Masyarakat Jawa adalah dengan tahun baru Jawa tanggal 1 Suro. Ritual ini sendiri memiliki tujuan sebagai sarana pembebasan atau penyucian manusia atas dosa dan kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya.
Makna dari Ruwatan adalah meminta dengan sepenuh hati agar orang yang diruwat dapat lepas dari petaka dan memperoleh keselamatan. Oleh sebab itu, upacara Ruwatan dilakukan untuk melindungi manusia dari segala macam bahaya yang ada di dunia.
Sampai saat ini, tradisi Ruwatan masih dipercayai oleh sebagian besar masyarakat karena berpengaruh pada keselamatan anak tunggal dan keluarganya. Selain itu, masyarakat juga ingin melestarikan adat istiadat yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Jawa.