Pada 10 November 1945, 77 tahun yang lalu, peristiwa heroik terjadi di Surabaya. Peristiwa diawali oleh meninggalnya Aubertin Walter Sothern Mallaby atau lebih dikenal dengan Brigadir Mallaby. Kejadian tersebut menjadi pemicu naiknya intensitas antara Indonesia dan Inggris. Ketegangan berlanjut saat pihak Belanda melalui Inggris memberikan ultimatum terhadap pemerintahan Indonesia untuk menyerahkan diri dan senjata. Dalam selebaran yang disebar melalui udara, Komandan Angkatan Perang Inggris di Jawa Timur Mayor Jenderal Mansergh meminta seluruh pimpinan Indonesia, pemuda, polisi, dan kepala radio Surabaya, menyerahkan diri ke Batavia Weg atau Jalan Batavia pada 9 November 1945. Ultimatum tersebut dianggap sebagai hinaan oleh masyarakat Indonesia. Hingga pada tanggal 10 November, pertempuran hebat pun terjadi. Semua masyarakat Indonesia, tentara, rakyat bersatu melawan penjajah. Perjuangan dan pengorbanan inilah yang menjadi hakikat bangsa Indonesia sekaligus menetapkan bahwa setiap tanggal 10 November sebagai hari pahlawan.
Peringatan hari pahlawan merupakan momentum yang tepat untuk memberi makna atas pengorbanan para pahlawan dengan menyalakan jiwa kepahlawanan. Kisah para pejuang dapat dijadikan sebagai teladan untuk bersikap jujur, gigih, pantang menyerah, dan cinta tanah air. Perjuangan sebagai teladan itulah yang menjadi tema hari pahlawan pada tahun ini, yaitu âPahlawanku, Teladanku". Nilai-nilai dan hakikat kepahlawan tersebut dapat terwujud melalui pendidikan. Bapak/Ibu selaku pendidik harus dapat memberikan teladan yang baik kepada siswa, baik dengan sikap disiplin, tegas, dan tutur kata yang baik. Selain itu, salah satu cara yang dapat ditempuh agar pemelajar dapat menghayati nilai-nilai kepahlawan adalah melalui kisah-kisah para pahlawan. Bapak/Ibu tentu mengetahui pahlawan-pahlawan di bidang pendidikan, seperti Ki Hadjar Dewantara dan Raden Ajeng Kartini. Namun, ada satu nama pahlawan yang dapat dijadikan teladan oleh Bapak/Ibu guru dan pemelajar yaitu Raden Dewi Sartika. Penasaran dengan kisah-kisah inspiratifnya? Simak penjelasan berikut.
Tentang Dewi Sartika Foto Dewi Sartika dan Raden Somanagara (sumber: Muskitnas) Raden Dewi Sartika lahir di Cilengka, Jawa Barat pada 4 Desember 1884. Ia merupakan putri dari pasangan Raden Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Raden Dewi Sartika pernah bersekolah di Eerste Klasse School atau sekolah kelas satu untuk penduduk non-Eropa sampai di bangku kelas dua. Namun, saat ayahnya diasingkan oleh pemerintah kolonial karena tuduhan atas sabotase pacuan kuda di Tegallega, Dewi Sartika terpaksa berhenti sekolah lalu tinggal bersama pamannya, Patih Cicalengka yang bernama Raden Demang Suria Karta Hadiningrat. Dari pamannya, ia belajar pendidikan mengenai budaya Sunda dan kesundaan. Namun, disana ia mendapatkan perlakuan berbeda. Raden Dewi Sartika diberi banyak pekerjaan rumah dan memperlakukannya sebagaimana pelayan. Perlakuan tersebut disebabkan karena tindakan sang ayah dianggap menjadi aib keluarga.
Perjuangan dan Emansipasi Perempuan Pada tahun 1902, bertepatan dengan pulanganya R.A. Rajapermas dari Ternate, Dewi Sartika akhirnya meninggalkan rumah pamannya dan tinggal bersama Ibunya di Bandung. Saat bersama Ibunya, Dewi Sartika mulai menyadari ketimpangan-ketimpangan terhadap perempuan dalam masyarakat Sunda. Kedudukan perempuan Sunda dianggap lemah, perempuan hanya dianggap sebagai lambang status seorang pria. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kawin paksa dan kawin gantung di masyarakat Sunda. Fenomena inilah yang membangkitkan semangat Dewi Sartika untuk melakukan emansipasi perempuan. Emansipasi yang bertujuan untuk memberikan kesadaran dan menaikan harkat perempuan dalam masyarakat. Pemikiran tersebutlah yang mendasari ia mendirikan sekolah khusus perempuan di Bandung, Jawa Barat.
Belajar untuk Merdeka Pada tahun 1904, Dewi Sartika melalui bantuan C. Den Hammer, seorang Inspektur Kantor Pengajaran dan R.A.A. Martanegara, Bupati Bandung saat itu berhasil mendirikan Sakola Istri yang bertempat di ruang Paseban Kabupaten, bagian Barat Pendopo Bupati Bandung. Dalam penyelenggaraannya, Dewi Sartika dibantu oleh Purmo dan Uwit mengajar dasar-dasar berhitung, menulis, membaca, dan pelajaran agama. Cita-cita dan perjuangan Dewi Sartika tersebut dapat diketahui melalui buku karangannya berjudul De Inlandsche Vrouw (Wanita Bumiputera).
Suasana Sakola Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika (Sumber: Muskitnas) Selanjutnya, pada tahun 1905, Sakola Istri pindah ke Jalan Ciguriang. Sekolah ini sempat beberapa kali berganti nama menjadi Sakola Dewi Sartika (1910) dan Sakola Keutamaan Istri (1914). Kehadiran sekolah khusus perempuan tersebut disambut baik oleh masyarakat, dibuktikan dengan bertambahnya jumlah siswa. Selain itu, Dewi Sartika juga menambahkan beberapa mata pelajaran baru ke dalam kurikulumnya seperti keterampilan memasak, mencuci, menyetrika, dan membatik. Sakola Kautamaan Istri memiliki motto dalam bahasa Sunda âcageur, bageur, bener, singer, pinterâ yang memiliki arti, yaitu âsehat, baik hati, benar, mawas diri, pintarâ. Nilai-nilai tersebut masih dapat dijumpai di Jawa Barat sebagai warisan dari Dewi Sartika. Perjuangan dan keteladanan Dewi Sartika dapat menjadi motivasi bagi Bapak/Ibu dalam proses pengajaran. Perjuangannya telah mengajarkan bahwa cita-cita pendidikan dapat tercapai dengan tekad, ketekunan, dan kesadaran belajar untuk mencapai kemerdekaan sesungguhnya.
Penyematan Gelar Pahlawan Sebagai penghargaan terhadap Dewi Sartika, pada 11 Juli 1939 diadakan perayaan 35 tahun Sekolah Dewi Sartika yang dihindari oleh Bupati Bandung, Boostra, dan Pejabat Walikota. Namun, memasuki pergolakan tahun 1942, Dewi Sartika menghadapi cerita pahit karena harus mengalami kerugian baik biaya maupun peralatan. Pemindahan kekuasaan dari Belanda ke tangan Jepang juga mempengaruhi berbagai kegiatan yang telah ia rencanakan sebelumnya.
Setelah Pemerintahan Jepang berakhir dan Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, keadaan âSekolah Raden Dewi Sartikaâ menghadapi kesulitan yang besar, terutama karena kota Bandung dilanda kekacauan dengan hadirnya pasukan Inggris dan Belanda. Dalam pergolakkan ia terpaksa diungsikan ke Cinean. Sementara itu, kondisi kesehatannya semakin lemah. Dewi menderita sakit keras sampai akhirnya meninggal pada hari Kamis, 11 September 1947. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman umum Desa Cineam, kemudian dipindahkan ke makam para Bupati Bandung pada tahun 1951.
Makam Raden Dewi Sartika (Sumber: Muskitnas) Pada akhir hayatnya, Raden Dewi Sartika mendapatkan beberapa penghargaan, salah satunya ia mendapat medali emas kehormatan Orde van Oranje-Nassau dari pemerintah Hindia Belanda pada 1939 atas tulisannya dalam De Inlandsche Vrouw . Selain itu, berdasarkan SK Presiden RI No. 252 Tahun 1966 tanggal 1 Desember 1966 Dewi Sartika dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Bagaimana Bapak/Ibu, banyak sekali nilai yang dapat kita teladani dari perjuangan-perjuangan Raden Dewi Sartika bukan? Dengan menghayati perjuangan pahlawan kemerdekaan, ada harapan besar bahwa para pemelajar dapat termotivasi untuk berpikir kritis, berani, semangat, dan cinta tanah air. Selain itu, semangat juang Raden Dewi Sartika juga dapat diaplikasikan Bapak/Ibu dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pendidikan sehingga dapat menciptakan pendidikan yang berkualitas.