Nilai rapor sering kali tampak lebih seperti angka-angka yang ditempel asal. Bukan hasil dari proses pengamatan mendalam atau penilaian autentik. Beberapa guru memberi nilai layaknya "tembak langsung", tanpa dasar capaian pembelajaran yang kuat. Bahkan, tak sedikit yang mengaku, “Daripada ribet, kasih aja nilai rata-rata semua.” Murid pun hanya menjadi barisan angka, bukan individu dengan proses belajar dan potensi yang unik.
Fenomena ini bukan hal sepele. Nilai akademik, meski bukan satu-satunya indikator keberhasilan belajar, tetap menjadi salah satu pintu penting dalam menentukan masa depan murid: naik kelas, masuk sekolah favorit, bahkan ke jenjang pendidikan tinggi. Maka ketika nilai diberikan secara asal, tanpa observasi dan tanpa pemahaman mendalam tentang perkembangan murid, maka sebenarnya kita sedang mempertaruhkan keadilan pendidikan itu sendiri.
Menilai Itu Tanggung Jawab Moral
Pemberian nilai bukan urusan teknis semata, melainkan bagian dari tanggung jawab moral seorang pendidik. Di balik selembar rapor, ada harapan, ada arah hidup, ada kepercayaan orang tua, dan lebih dari itu—ada proses tumbuh anak manusia. Maka, ketika guru memberikan nilai tanpa observasi, tanpa mencermati perilaku belajar, tanpa catatan proses—itu sama saja mengingkari integritas profesi pendidik.
Integritas berarti menilai bukan karena ingin cepat selesai, atau demi menyenangkan kepala sekolah, atau demi “tampilan cantik” sekolah, melainkan karena kesadaran bahwa setiap angka adalah konsekuensi dari proses yang sungguh-sungguh. Seperti kata Albert Einstein,
“Not everything that counts can be counted, and not everything that can be counted counts.”
Tidak semua hal yang penting bisa dihitung, dan tidak semua hal yang bisa dihitung itu penting. Tapi jika pun kita memilih menghitung, hitunglah dengan adil. Meskipun kita tahu, banyak hal penting dalam hidup—seperti kejujuran, empati, integritas, motivasi—tidak bisa diukur dengan angka.
Adil dan Transparan
Ketika guru tidak mampu menjelaskan dari mana nilai murid berasal, ketika murid sendiri bingung mengapa nilainya 70 atau 90, maka transparansi telah hilang. Akibatnya, murid kehilangan kepercayaan terhadap proses belajar. Penilaian yang tidak objektif juga menumbuhkan budaya asal-asalan: murid tidak lagi berjuang memahami, karena merasa nilainya tidak sebanding dengan usahanya. Tentu saja kita juga perlu memahamkan murid, bahwa penilaian tidak hanya diambil dari angka-angka, melainkan juga dipengaruhi berbagai faktor seperti sikap dan perilaku belajar murid.
Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, pernah menulis:
“Education must begin with the solution of the teacher-student contradiction, by reconciling the poles of the contradiction so that both are simultaneously teachers and students.”
Pendidikan harus dimulai dengan menyelesaikan kontradiksi antara guru dan murid, dengan mendamaikan kedua kutub dari kontradiksi tersebut sehingga keduanya secara bersamaan menjadi guru dan murid. Penilaian yang transparan dan adil adalah bagian dari rekonsiliasi itu—guru bukan hakim, tetapi pembimbing yang jujur dan terbuka dalam memberi umpan balik.
Guru Malas Mengobservasi Murid
Masalah ini berakar pada satu kebiasaan yang makin umum: guru malas mengobservasi proses belajar murid.
Banyak guru hanya menilai dari tugas akhir, bahkan sekadar kehadiran atau sikap umum, tanpa mencatat perkembangan, keaktifan, minat, dan respons belajar selama satu semester. Padahal, pembelajaran adalah proses panjang, bukan potret satu momen.
Dengan tidak melakukan observasi, guru kehilangan data berharga: potensi murid yang belum muncul, perubahan sikap belajar, atau bahkan masalah-masalah personal yang memengaruhi performa belajar. Ini berimbas besar: guru tidak mampu memetakan kekuatan dan kelemahan murid, sehingga proses pembelajaran pun ikut terabaikan. Nilai pun akhirnya bukan cermin dari perjalanan, melainkan sekadar angka penutup administrasi.
Mengembalikan Marwah Penilaian
Kita perlu mengingatkan diri sendiri bahwa nilai bukan sekadar angka, tapi cermin kualitas belajar. Jika nilai diberikan secara sembarangan, maka sebenarnya kita sedang menghancurkan makna nilai itu sendiri.
Rubrik yang jelas, observasi berkelanjutan, catatan proses belajar, refleksi murid, portofolio tugas—semua itu adalah bagian dari pembelajaran mendalam dan penilaian yang adil. Ya, ini butuh waktu dan usaha. Tapi bukankah itu bagian dari panggilan profesi kita?
Ki Hadjar Dewantara pernah berkata,
“Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
Kata menuntun mengandaikan bahwa guru berjalan bersama murid, mengamati, memahami, dan membantu mereka bertumbuh.
Mari Lebih Sadar dalam Menilai
Mungkin bagi sebagian guru, satu-dua angka di rapor tak berarti apa-apa. Tapi bagi murid, bisa jadi itu adalah pintu atau tembok. Maka sebelum kita mengisi kolom nilai, mari bertanya dulu: apakah saya benar-benar melihat proses belajarnya? Apakah saya tahu di mana kekuatannya? Apakah nilai ini adil?
Karena pada akhirnya, nilai yang benar bukan sekadar yang tinggi atau rendah. Tapi nilai yang mencerminkan proses, jujur dalam dasar, dan bermartabat dalam cara. Mari kita kembalikan nilai pada nilai (value) itu sendiri. []
*Ahmad Risani, S.Pd., Gr. adalah Guru Penggerak Angakatan 3 Ogan ilir, dan Pengajar Praktik Angkatan 10. Ia seorang Penulis dan Pemerhati isu-isu Kependidikan. Kerap menjadi pembicara diskusi kependidikan di berbagai komunitas.
Penyunting: Putra