Pembelajaran bahasa asing, terutama di sekolah-sekolah yang jauh lingkungan perkotaan yang multikultur, sampai saat ini masih dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan tidak terjangkau oleh kemampuan berpikir murid. Berbagai adaptasi telah dilakukan oleh para guru mulai dari peningkatan kompetensi dalam hal IT untuk menyelaraskan dengan selera belajar murid, hingga variasi-variasi materi dan metode semuanya dilakukan untuk bisa mencapai tujuan pembelajaran bahasa yang diharapkan. Namun tidak jarang, guru bahasa asing dihadapkan pada fakta bahwa banyak murid yang datang ke sekolah dengan tidak membawa motivasi untuk belajar sama sekali. Target yang mereka tetapkan tidak lebih dari sekedar mengikuti rangkaian pembelajaran, bisa mengerjakan ujian-ujian yang diadakan, mendapat nilai minimal di ambang batas level ketuntasan, lulus dengan nilai yang aman, sudah cukup. Tidak ada kesadaran bahwa pembelajaran yang mereka dapatkan akan menjadi bekal masa depannya.
Sebagai guru bahasa asing, pernahkah kita bertanya apa yang sebenarnya menjadi garis merah dari masalah yang kita hadapi ini? Sudahkah kita memeriksa bahwa langkah yang kita putuskan untuk dilakukan di kelas telah sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman? Materi bahasa asing, tidak jarang bermuatan internasional. Budaya-budaya negara lain sebagai contoh dialog-dialog yang digunakan, dan level kebahasaan yang cukup tinggi dengan standar teks yang diambil dari sumber-sumber bacaan otentik. Mungkin inilah salah satu penyebab sulitnya materi tersampaikan. Bahkan sekedar mendapatkan antusias siswa untuk belajar pun, merupakan tantangan yang belum terpecahkan. Rupanya kita yang sering lupa, bahwa murid-murid kita berasal dari mana, dari kodrat alam yang mana. Muatan-muatan yang disuntikkan dalam materi pelajaran bahasa asing memang penting untuk membuka wawasan mereka terhadap kondisi dunia, tetapi seharusnya tidak lantas menjadi tugas mereka untuk memikirkan solusi pemecahan polemik tersebut, sementara di lingkungan sekitar mereka terdapat masalah-masalah yang lebih konkret dan urgent untuk dijadikan bahan diskusi.
Selama ini kita percaya bahwa pembelajar bahasa asing harus berorientasi global dan memiliki wawasan internasional. Namun dengan berbagai tantangan yang dulit terpecahkan tersebut, akhirnya kita harus menurunkan standar dan menghadapi realitas bahwa bahasa adalah sekedar alat yang digunakan sebagai media komunikasi. Murid tidak harus ditargetkan untuk ikut menerapkan kultur yang digunakan negara lain hanya karena mereka ikut mempelajari bahasanya, dan tentu saja mereka juga tidak harus bisa menggunakan bahasa asing ini dengan kualitas seperti penutur asli bahasa tersebut. Wawasan global tentunya sangat penting untuk dimiliki murid sebagai senjata dalam memfilter segala informasi yang masuk di era digital seperti sekarang. Namun bukan berarti mereka harus lupa bahwa mereka anak bangsa dan putra daerah yang seharusnya mulai saat ini sudah bisa ikut berperan aktif dalam membangun daerahnya, minimal dimulai dengan memupuk budaya lokal dan peka terhadap permasalah sosial yang terjadi di sekitarnya.
Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan oleh para guru bahasa asing adalah dengan mengangkat isu-isu kedaerahan dalam teks-teks bacaan, mengambil interaksi sosial dengan konteks kegiatan masayarakat untuk dijadikan contoh dalam materi-materi teks fungsional, dan yang paling penting adalah menjaga komunikasi dua arah dengan siswa tentang segala hal yang dilakukan di kelas, mulai dari apa yang dibutuhkan murid, apa yang membuat mereka enjoy, apa yang menjadi tantangan belajar mereka, dan solusi pemecahan yang semuanya didiskusikan bersama secara resiprokal.
Penyunting: Putra