Senin, 11 November 2024, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Abdul Mu’ti, telah mengundang pihak pers dan memberikan pernyataan terkait pokok-pokok pembahasan yang diangkat pada Rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan bersama dengan jajarannya dan elemen-elemen pemerintah yang berkaitan. Salah satu pokok pembahasan merujuk pada sistematika zonasi pada seluruh sekolah negeri di Indonesia.
Seperti yang sudah diketahui, program ini kerap kali mengundang pro kontra di tengah masyarakat. Terdapat beberapa kasus di pemberitaan yang menunjukkan kurangnya kesiapan dan kematangan pada eksekusi program ini.
Awal Mula Sistem Zonasi Menurut salah satu buku yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengenai zonasi, program ini didefinisikan sebagai upaya untuk menunjang percepatan kebijakan pemerataan kualitas pendidikan yang dilakukan oleh Kemendikbud dengan pendekatan layanan geospasial. Program ini sudah dicanangkan sejak tahun 2016, namun mulai berlaku secara efektif sejak tahun 2017 pada saat berlangsungnya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Sistem ini dijalankan dengan menyediakan jalur pendaftaran baru, yaitu siswa hanya boleh memilih dan mendaftarkan diri ke sekolah-sekolah yang sudah diseleksi oleh pemerintah daerah sesuai dengan domisili siswa tersebut. Tujuan program ini diharapkan mampu meratakan kualitas pendidikan dan mampu menghapus label sekolah favorit dan tidak favorit di mata masyarakat.
Program ini sebelumnya sudah berlaku di belahan dunia lain yang terdiri atas negara maju, seperti Eropa, Amerika, dan Asia. Di Eropa sendiri, sistem ini sudah berlaku sejak tahun 1940-an karena pemerintah menganggap bahwa kompetisi pasar di dunia pendidikan justru mengundang persaingan yang tidak sehat di antara siswa didik. Hal ini yang kemudian diserap oleh pemerintah Indonesia sehingga akhirnya membuat sistematika seperti negara lain.
Terdapat beberapa alasan yang menjadi dasar pemerintah sehingga pada akhirnya membuat program ini, yaitu:
1. Ketidakadilan dalam pendidikan Anda kerap kali mendengar istilah sekolah favorit dan tidak favorit. Label sekolah yang seperti ini diberikan sesuai dengan kualitas yang diciptakan oleh sekolah terhadap siswa didiknya. Sering kali, anak-anak yang kurang memiliki kepintaran yang setara dengan mayoritas murid di sekolah favorit, tidak dapat diterima oleh sekolah ini. Dengan sistem zonasi, pemerintah ingin mematahkan stigma dan persepsi ini. Semua anak berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama di sekolah manapun.
2. Menunjang pemerataan layanan pendidikan Salah satu problema yang terjadi di Indonesia adalah dari segi pelayanan pendidikan yang masih ditemukan kurang baik pada daerah tertentu. Harapannya dengan adanya pemerataan siswa ini, pemerintah juga kemudian akan mengusahakan adanya pemerataan layanan. Tidak hanya sekolah favorit ataupun sekolah di kota yang memiliki layanan pendidikan yang bagus, melainkan sekolah-sekolah di daerah pelosok juga akan memiliki layanan pendidikan yang baik untuk menunjang kualitas siswa didik yang terbaik.
3. Dorongan untuk mempercepat pemerataan mutu Salah satu rahasia umum yang kerap kali terdengar adalah adanya ketimpangan layanan yang diberikan kepada siswa yang berprestasi dan yang tidak. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada perkembangan anak, siswa yang berprestasi akan mampu berkembang lebih dulu dibandingkan yang tidak akibat menerima perbedaan layanan pendidikan. Oleh karena itu, harapan Kemendikbud melalui program zonasi adalah semua siswa mampu mendapat layanan pendidikan yang setara sehingga semakin dapat mempercepat pemerataan mutu siswa didik.
Bentuk Pro Kontra di Masyarakat Sistem zonasi yang sudah berjalan dalam kurun waktu 7 tahun ini, sudah menuai berbagai opini di tengah masyarakat. Dalam kurun waktu 2 tahun sejak diluncurkannya sistem ini, pemerintah sudah menerima ragam laporan di masyarakat. Salah satunya adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang yang sempat menerima laporan dari orang tua bahwa terdapat banyak kasus peserta didik yang gagal masuk sekolah terdekat meskipun sudah termasuk dalam wilayah zonasi. Hal serupa pun terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Kondisi pun turut semakin runyam dengan pemberitaan yang beredar mengenai program ini pada tahun 2023 dimana ditemukan kasus jual beli kursi untuk calon siswa di daerah Karawang Timur. Selain itu, ditemukan juga manipulasi data domisili pada sistem PPDB di wilayah Bogor. Tak hanya itu, ragam kasus mengenai penyuapan atau “salam tempel” yang diberikan kepada pihak sekolah agar siswa dapat lolos di sekolah tersebut serta pemalsuan Kartu Keluarga pun juga ditemukan pada tahun 2023.
Melihat kondisi yang semakin menyalahgunakan program ini, terdapat segelintir masyarakat yang mulai menyuarakan untuk segera mengubah atau menghapus program ini. Namun, di tengah cercaan masyarakat, beberapa sekolah di daerah justru merasa terbantu dengan program ini. Beberapa penelitian berhasil mengumpulkan pendapat dari beberapa kalangan tenaga didik yang merasa bahwa sistem seperti ini justru memberi akses dan kesempatan yang lebih luas terhadap siswa yang memiliki latar belakang ekonomi rendah. Selain itu, sistem zonasi juga membantu sekolah-sekolah di daerah untuk mendapatkan kualitas siswa yang beragam. Hal ini kemudian berpotensi untuk memicu guru untuk turut meningkatkan kualitasnya.
Melalui pernyataan kepada pers, Prof. Ahmad Mu’Ti menyatakan bahwa program zonasi akan ditunjang lebih lanjut dan akan diusut tuntas secara mendalam berkaitan dengan penerapan sistematikanya. Mendikdasmen akan menampung lebih lanjut masukan dan usulan dari para Kepala Dinas Pendidikan di seluruh Indonesia untuk dapat memberhasilkan program ini bersama.
Gabung membership GuruInovatif.id disini
Referensi: Kajian Pro Kontra Penerapan Sistem Zonasi Pendidikan di Indonesia Mengenal Sistem Zonasi PPDB dan Sosok Pencetusnya
Penulis: Audrey Abigail | Penyunting: Putra