Di tengah gegap gempita revolusi digital zaman sekarang, generasi Z dan Alpha tumbuh dalam ekosistem yang tak pernah lepas dari gawai. Memang pada kenyataannya gawai bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan menjadi perpanjangan tangan dalam menjalani hidup sehari-hari selain sebatas media hiburan, termasuk dalam hal ini pendidikan. Namun ironisnya dibalik kemudahan akses informasi dan melimpahnya konten edukatif, justru muncul fenomena "mandek belajar". Ketika atensi lebih mudah tersedot notifikasi media sosial dibanding pelajaran di kelas, pendidikan pun mengalami tantangan baru: bagaimana membuat belajar tetap relevan, bermakna, dan tak kalah menarik dibanding layar yang terus menyala?
Fenomena ini bukan sekadar persoalan distraksi, melainkan refleksi dari sistem pendidikan yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan cara pikir dan gaya belajar digital-native. Di satu sisi, sekolah masih banyak mengandalkan pendekatan konvensional, yaitu ceramah satu arah, hafalan, dan evaluasi berbasis angka. Sementara di sisi lain, generasi Z dan Alpha hidup dalam dunia yang serba visual, interaktif, dan instan. Ketimpangan inilah yang membuat proses belajar sering terasa membosankan, tak relevan, bahkan terputus dari realita keseharian mereka.
Belajar seharusnya tak lagi diposisikan sebagai aktivitas formal yang terkungkung di balik meja dan papan tulis, melainkan sebagai pengalaman yang kontekstual, personal, dan penuh eksplorasi. Teknologi bukan musuh yang harus dijauhi, melainkan jembatan yang bisa menghubungkan materi ajar dengan dunia nyata siswa. Namun ini tentu tak cukup dengan sekadar menyediakan internet atau mengganti buku cetak dengan e-book. Dibutuhkan transformasi menyeluruh dalam pola pikir, strategi pembelajaran, serta relasi antara guru dan murid.
Ketika generasi muda sekarang lebih tertarik menonton tutorial di YouTube daripada mendengarkan penjelasan guru di kelas, itu bukan pertanda mereka malas belajar, melainkan tanda bahwa cara mereka belajar telah berubah. Maka pertanyaannya kini bukan lagi bagaimana mengurangi screen time? Tetapi bagaimana membuat screen time menjadi learning time?
Persoalan lain yang muncul juga yaitu banyak pelajar sekarang mengalami kelelahan mental yang tidak datang dari beban akademik semata, melainkan dari tekanan sosial media, krisis identitas, hingga kehilangan arah belajar. Mereka lebih hafal nama-nama selebgram ketimbang tokoh-tokoh pahlawan, lebih lihai membuat konten hiburan ketimbang memahami konten pelajaran. Belajar pun tak lagi dianggap kebutuhan, melainkan sekadar kewajiban formal.
Sekolah hadir sebagai tempat isi presensi semata, datang, duduk, diam, lalu pulang tanpa makna. Inilah potret buram pendidikan masa kini: ketika pelajar lebih aktif di dunia maya, namun pasif di ruang kelas nyata. Mereka mahir membuat konten TikTok, tapi gagap saat diminta mempresentasikan pendapatnya di depan kelas. Mereka cepat hafal tren dan algoritma, tapi kesulitan membaca satu paragraf dengan pemahaman utuh. Kegiatan belajar berubah menjadi rutinitas mekanis, mengerjakan tugas sekadarnya, menyalin jawaban dari internet, dan berharap nilai baik datang tanpa proses yang sungguh-sungguh.
Celakanya, kondisi ini kadang disalahpahami sebagai “kemalasan” semata, padahal di balik itu ada kegersangan makna yang tak ditangani. Pelajar generasi sekarang haus akan relevansi, mereka ingin tahu “mengapa” harus belajar sesuatu, bukan hanya “apa” yang harus dihafalkan. Sayangnya, sistem pendidikan sering gagal menjawab kebutuhan itu karena terjebak pada target-target administratif yang kaku dan terlepas dari konteks zaman. Maka wajar jika mereka mencari makna ke luar, ke dunia digital yang lebih interaktif dan instan, meski sering kali tanpa arah yang jelas. Jika sekolah tak segera berbenah, bukan tidak mungkin generasi masa depan akan kehilangan kepercayaan bahwa pendidikan formal masih layak diperjuangkan.
Kritik terhadap Sistem Pendidikan
Sayangnya, sistem pendidikan kita belum sepenuhnya siap menjawab tantangan era digital ini. Kurikulum boleh berganti nama, dari Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Kurikulum 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004 (KBK), Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka yang berlaku sekarang. Namun pada praktiknya, banyak institusi pendidikan masih berjalan dengan logika lama.
Kurikulum Merdeka yang sejatinya menawarkan fleksibilitas, diferensiasi pembelajaran, dan penguatan karakter, justru seringkali hanya menjadi jargon tanpa implementasi yang bermakna di lapangan. Banyak guru yang belum terlatih dengan baik, kebingungan merancang pembelajaran berdiferensiasi, dan akhirnya kembali ke cara-cara konvensional: ceramah satu arah, tugas menumpuk, dan ujian sebagai satu-satunya tolok ukur capaian.
Di sisi lain, sistem evaluasi masih cenderung menilai apa yang mudah diukur, bukan yang penting untuk dipelajari. Nilai angka menjadi tujuan utama, bukan pemahaman yang mendalam. Akibatnya, pelajar kita jago menghafal tapi gagap mengelola informasi, cerdas dalam teori namun canggung dalam praktik, dan mahir menyontek ketimbang menyelesaikan masalah.
Sistem pendidikan kita tampak modern di atas kertas, namun masih tradisional dalam budaya. Belum lagi tekanan administratif yang membebani guru, menjadikan mereka lebih sibuk mengisi laporan dibanding menciptakan pembelajaran yang kreatif. Maka jangan heran jika ruang kelas hanya jadi ruang formalitas, bukan ruang aktualisasi. Kita tidak bisa menafikan bahwa dunia luar bergerak seperti kecepatan algoritma. Jangan sampai ruang kelas dibiarkan terasa membosankan dan proses belajar kehilangan daya pikatnya di hadapan generasi yang tumbuh bersama fitur “skip ad” dan “auto scroll”.
Peran guru dan orang tua
Dalam situasi yang kompleks ini, guru dan orang tua memegang peran yang tak tergantikan. Bukan lagi sekadar sebagai pengawas atau sekadar pemberi instruksi, melainkan sebagai fasilitator, pendamping, sekaligus inspirator dalam proses belajar anak. Guru di tengah tekanan administratif dan beban kurikulum yang terus berganti dihadapkan pada tantangan besar untuk tetap relevan di mata generasi digital. Tidak cukup hanya menguasai materi pelajaran, guru masa kini harus mampu menciptakan pengalaman belajar yang menyentuh minat dan kebutuhan peserta didik. Mereka dituntut untuk melek teknologi, luwes dalam metode, dan adaptif terhadap perubahan. Guru bukan lagi "sumber segala ilmu", melainkan navigator yang membimbing peserta didik menjelajahi samudra pengetahuan yang luas dan sering kali membingungkan.
Di sisi lain, orang tua pun tidak bisa tinggal diam. Peran mereka jauh lebih besar dari sekadar membayar sekolah dan memantau nilai rapor. Dalam dunia yang penuh distraksi, kehadiran orang tua sebagai pendamping emosional dan pembentuk karakter menjadi krusial. Banyak anak yang kehilangan arah bukan karena tidak mampu, tapi karena merasa tidak dimengerti dan tidak mendapatkan teladan yang konsisten di rumah. Orang tua harus menjadi contoh dalam penggunaan teknologi yang bijak, menunjukkan bahwa layar bukan pelarian, tapi alat untuk berkembang. Mereka juga perlu menciptakan suasana rumah yang mendukung pembelajaran, bukan hanya menyediakan fasilitas, tapi juga ruang untuk berdialog, berekspresi, dan bereksperimen.
Kolaborasi antara guru dan orang tua menjadi kunci utama. Pendidikan tak bisa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah, sebagaimana sekolah tak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan rumah. Ketika keduanya saling memahami peran masing-masing, saling mendukung, dan memiliki visi bersama dalam mendidik anak di era digital, maka pendidikan tak hanya akan bertahan, tapi bisa tumbuh dengan arah yang lebih manusiawi dan bermakna.
Penyunting: Putra