Dewasa ini, mungkin gelar pahlawan dalam millennial ini harus kita sematkan kepada para pendidik bangsa “guru”. Mengapa demikian? Karena lewat tangan-tangan, ucapan dan tingkah laku mereka banya orang yang terdidik dan menjadi penerus masa depan bangsa.
Honorer adalah satu kata yang sering digunakan sebagai nama lain untuk menyebutkan guru tidak tetap. Sebagaian besar masyarakat yang masih awam tidak menghiraukan saat mendengar kata tersebut.
Dalam pengalaman penulis sendiri, saat menyaksikan para guru honorer ini bekerja dan mendidik putra dan putri bangsa menemukan bahwasannya para guru honorer ini ternyata digaji jauh dari kata layak, yang tak seimbang dengan apa yang telah mereka korbankan seperti waktu, tenaga hingga menempuh jarak untuk sekedar mengajar anak didiknya.
Pemerintah yang terkesan abai dan masyarakat yang masih awam bagaimana akan perjuangan para guru honorer. Hal tersebutlah yang kemudian yang melatarbelakangi penulis menuangkan kegundahan, kekecewaan akan nasib guru yang terus-terusan tak menentu. Walaupun, penulis sendiri merupakan guru wiyata yang juga masih dalam tahap study di perguruan tinggi, tetapi melihat fenomena yang jauh akan keadilan, prihatim dan kecewa akan nasib guru honorer memaksa penulis ingin menuangkan dalam artikel kali ini.
Ketidakadilan para guru honorer ini dalam susdt pandang penulis adalah, dimulai dari gaji yang tak layak yang hanya terdiri dari beberapa ratus ribu, jam kerja yang sama dengan guru PNS dan beban administrasi yang sama dengan guru PNS.
Memang benar menjadi seorang guru tak bisa disamakan dengan karier karena menjadi seorang guru berarti telah siap melakukan pengabdian kepada satuan pendidikan lahir maupun batin. Tetapi kita harusnya juga mawas diri untuk memperhatikan seluruh pendidik negeri ini, untuk lebih menghargai jerih payah para tenaga pendidik honorer yang mendidik, mengajar dan membimbing para generasi penerus bangsa.
Sudut pandang penulis
Dulu sebelum saya menjadi seorang guru di salah satu madrasah ibtidaiyah di lingkungan desa tempat tinggal penulis. Penulis hanyalah seorang lulusan pondok pesantren modern yang hanya diwejangi oleh Abah “Kyai pengasuh pondok pesantren” untuk ikhlas dalam mengajarkan setiap ilmu kepada murid-murid yang nantinya diketemui di madrasah.
Dengan berkas yang dibutuhkan penulispun memberanikan diri untuk mendaftar menjadi tenaga pendidik disalah satu madrasah ibtidaiyah, singkat cerita penulispun diterima sebagai guru mata pelajaran bahasa arab dan olahraga pada waktu itu. Kesenangan yang tak terkira diterima bekerja sebagai guru untuk pertama kalinya.
Waktu demi waktu penulis mulai mengajar dengan khas anak muda yang senang guyon dengan para siwa di madrasah. Satu bulan berlalu dan beranjak kebulan kedua penulis merasa mengapa belum menerima upah atau gaji dalam waktu satu bulan ini.
Pikiran yang terngiang dalam pikiran akhirnya terjawab pada suatu waktu penulis diberikan amplop yang berisi gaji yang hanya bernominalkan Rp. 150.000. Penulis pada waktu itu hanya mengucapkan terimakasih tanpa bertanya ini gaji pokok atau hanya uang tunjangan seperti, transport atau intensif yang lain? Tetaoi segala pertanyaan tersebut penulis pendam dan tak pernah penulis utarakan kepada dewan guru hingga sekarang.
Cerita dari mereka
Yang akan tersaji dalam tulisan ini mungkin kebanyakan hanya dari kisah saya dan beberapa rekan yang masih dianggap guru wiyata, honorer dan status pangkat dalam profesi yang seperti tak kunjung dalam kepastian.
Tak dipungkiri permasalahan gaji yang layak bagi guru honorer masih sangat pasif dialokasikan oleh pemerintah. Entah alasan pelik apa yang sebenarnya dialami pemerintah untuk segera mensejahterakan para tenaga honorer di Indonesia, tak terkecuali penulis yang juga harus memutar otak dan membuka sebuah usaha kecil-kecilan atau yang dikenal dengan istilah UMKM dengan mendirikan sebuah angkringan pinggir jalan sebagai alternatif tambahan penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari.
Usaha angkringan yang dijalankan pada malam hari sangatlah menguras tenaga, yang dalam keesokan paginya harus bergegas kembali dan memulai aktivitas dalam lingkungan satuan pendidikan. Adapun rekan yang juga berstatus honorer juga memutar otak dengan cara berjualan kopi dan membuka usaha jasa roasting kopi untuk mencukup nafkah bagi keluarganya.
Bahkan tak sedikit guru honorer yang harus mencari pekerjaan atau sebuah usaha sampingan agar dapur di rumah tetap mengebul. Seperti teman penulis yang telah mengabdi di salah satu madrasah ibtidaiyah kurang lebih 9 tahun lamanya belum diangkat juga menjadi seorang aparatur sipil Negara (ASN) atau tenaga pendidik sertifikasi dan yang lebih ironinya adalah beliau hanya menerma gaji Rp. 500.000 setiap bulannya.
Tak hanya sampai demikian, rekan penulis yang juga menjadi seorang kepala di sebuah madrasah harus bolak-balik dari tempat tinggalnya menuju madrasah sekitar kurang lebih 25 kilometer dan hanya menerima upah Rp.750.000 setiap bulannya.
Kita hitung-hitungan saja bagaimana bisa kita tega melihat fenomena tersebut. Yang setiap harinya guru memerlukan bahan bakar kendaraan untuk setiap kali akan berangkat mengajar. Kita logikakan saja, mungkin hanya akan tersisa separuh dari gaji para guru honorer bahkan mungkin habis tak tersisa.
Mengajar itu harus ikhlas
“Barangsiapa mendahulukan ikhlas sebelum amal, maka ia tidak akan bias beramal. Hendaknya ia beramal kemudian menuntut dirinya untuk ikhlas” Habib Luthf Bin Yahya.
Ngendikan Habib Luthfi Bin Yahya mungkin yang kini sedang dilakukan oleh para guru honorer di Indonesia, ditengah ketidakpastian nasib akan akses kelayakan yang didapat guru honorer terus tak mengenal lelah untuk andil dalam mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Memiliki rekan yang lebih senior memang kadang menyenangkan dan tenang saat mendengarkan sebuah nasehat akan kehidupan guru honorer, karena beliau lebih senior daripada penulis dalam hal lamanya sebuah pengabdian, penulis sering bertanya tentang kesenjangan sosial dan material yang dialami seorang guru honorer.
Beliau pernah memberikan nasehat “Mas, kalau kita nggak mencari peruntungan berupa pekerjaan atau usaha sampingan dapur kita nggak akan mengebul mas. Kalau mengajar itu memang harus ikhlas, tentang rezeki jangan kuatir Gusti Allah yang bakal jamin” Pesan teman penulis.
Stigma guru harus memiki usaha atau yang lebih dikenal dengan teacherpreunership memang sangat harus dimasifkan gerakannya. Hal ini juga sesuai dengan pesan Al-Maghfurlah KH. Maemun Zubair pada suatu waktu kepada para santri dan para pendidik di tanah air.
“Nak kalau kamu jadi guru, dosen,atau kiai, kamu harus tetap punya usaha sampingan. Biar hatimut tidak selalu mengharap pemberian atau bayaran dari orang lain. Karena usaha dari hasil keringatmu sendiri itu barokah”. Punkas beliau.
Memang benar tak ada salahnya guru membuka usaha bahkan bekerja sampingan tetapi kita juga tak memungkiri bahwasannya saat pemerintah seakan lepas tangan dalam kesejahteraan guru honorer maka tak dipungkiri bahwasannya slogan merdeka belajar hanya akan menjadi angan dan impian.
Mengapa demikian? Karena kesejatian kemerdekaan bukan hanya pada aspek pembelajaran yang dilalui pendidik dan peserta didik, namun aspek akses kesejahteraan dalam sendi kehidupan juga harus terjamin kemerdakaannya.
Sedikit selayang pandang akan nasib honorer yang jauh akan akses gaji kelayakan, namun selalu ikhlas dalam andil membimbing, mendidik dan mencerdaskan para generasi penerus bangsa.
Tulisan ini hanyalah setitik kisah saya, rekan dan senior saya yang masih hanya dianggap sebagai tenaga honorer pinggiran. Hal ini dapat kita jadiakan bahan evaluasi agar kedepannya nasib guru honorer untuk lebih dipedulikan.