Sebelum masuk lebih dalam, kiranya penulis perlu menyampaikan terlebih dahulu tentang diri penulis yang merupakan seorang guru generasi milenial. Hal ini supaya pembaca lebih mudah untuk memahami apa yang penulis rasakan. Meski secara finansial mungkin kondisi guru saat ini jauh lebih baik, para guru saat ini dihadapkan pada situasi yang serba tidak enak. Situasi ini mungkin tidak didapat oleh guru-guru tempo dulu, yang dengan segala kesederhanaannya seolah memang hidup tanpa masalah.
Mari kita lihat, apakah guru-guru kita dulu mengalami gonta ganti kurikulum yang membuat mereka harus adaptasi lagi dan lagi? Apakah guru-guru kita dulu senantiasa disibukkan oleh urusan administrasi yang tiada bertepi? Apakah guru-guru kita dahulu harus selalu belajar dan menyesuaikan diri dengan teknologi yang terus berkembang dan terbaharui? Bisa jadi iya, tetapi apa yang beliau-beliau rasakan tidak akan sepelik apa yang ada saat ini.
Belum lagi jika ditambah berbagai persoalan yang muncul di zaman ini. Mulai dari dampak negatif yang muncul bersamaan dengan adanya arus globalisasi, harga-harga yang melambung tinggi akibat inflasi, ditambah para guru harus mengajar peserta didik yang notabene adalah gen-Z. Orang mengatakan sebagai generasi “stroberi”. Generasi yang begitu sensi, kerja sedikit sudah mengeluh sana sini, guru tegas dianggap mem-buly, apalagi kalau guru main fisik, tentu langsung lapor polisi. Bagaimana guru bisa mendapatkan kebahagiaan hati kalau senantiasa seperti ini? Bukannya bahagia, yang terjadi adalah rentannya guru mengalami gangguan kesehatan mental.
Untuk itu, guru saat ini perlu memahami dan berupaya meningkatkan kesehatan mental dalam diri mereka. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan jasmani, bahkan keduanya saling berkaitan. Kurangnya kesehatan mental seseorang, akan berdampak pada kesehatan jasmani. Lebih jauh, kesehatan mental akan memengaruhi kualitas hidup dan produktivitas seseorang. Guru yang yang mengalami gangguan kesehatan mental akan mengalami kesulitan dalam mengelola kelas, membuat administrasi, bahkan untuk sekedar bersosialisasi pun, bisa jadi akan sangat sulit. Ditambah jika sampai pada kondisi emosi yang tidak terkendali, maka seorang guru dengan gangguan mental tidak direkomendasikan lagi untuk masuk kelas sampai yang bersangkutan sembuh dari sakitnya.
Gangguan kesehatan mental sebenarnya bisa diantisipasi jika kita merasakan beberapa kondisi perubahan ke arah negatif pada diri guru. Misalnya perubahan mood yang drastis, perubahan pola tidur dan makan, suka menyendiri, sulit konsentrasi, serta gangguan fisik yang tidak jelas penyebabnya. Jika satu atau lebih gejala itu ada pada diri seorang guru, maka ia harus segera melakukan langkah pencegahan agar tidak terhadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bagi yang belum pernah mengalami, guru tetap wajib menjaga kondisi dirinya agar tetap sehat secara mental. Misalnya dengan rutin berolahraga, mengelola stress, saling memberikan dukungan, dan tidak lupa untuk menyalurkan hobi atau kesenangan. Piknik itu penting guys.
Namun yang tidak kalah penting adalah bahwa guru harus senantiasa bersyukur atas apa yang telah didapatkannya selama ini. Dengan bersyukur, semoga keberkahan senantiasa menyertai aktivitas profesi yang mulia di mata Tuhan ini. Kalau Tuhan sudah memberkahi, kebaikan dan kebahagiaan semacam apa sih yang mau dicari lagi? Tetap semangat untuk para guru yang selalu di hati.
Penyunting: Putra