Secara etimologi kata guru dari bahasa Sansekerta. Gu artinya kegelapan, Ru artinya membebaskan dari atau menyingkirkan. Makna asal kata guru adalah penghalau atau pengusir kegelapan agar ia melihat semuanya dengan cahaya dan terang.
Kita juga sering mendengar penggalan syair dari lagu hymne guru, “engkau sebagai pelita dalam kegelapan” esensi kalimat tersebut merupakan metafora dari sosok guru. Untuk itu, guru mesti mulai mengarahkan peserta didik untuk memandang dunia dengan terangnya pengetahuan.
Secara pribadi, guru mesti memiliki cahaya atau visi yang mengarahkan langkah hidupnya bagi pengembangan profesinya. Namun, usaha pada level individual ini saja belumlah mencukupi buat bekal bagi pergulatan hidup dan perjuangan guru di zaman sekarang. Lantas dengan mudah guru yang memiliki segudang beban dipandang sebelah mata saja.
Tidak ada guru yang secara sengaja bersikap malas, kecuali mereka yang sudah benar-benar kehilangan orientasi menjadi guru. Mungkin lebih tepat dikatakan bahawa situasi kerja dan kultur yang melingkupi kinerja guru di Indonesia membuat ruang-ruang pembelajaran bagi pengembangan profesinya semakin sempit.
Ironisnya, ekosistem yang ada dibangun bukan untuk berkembang, melainkan hanya sebagai penerus keberlanjutan. Sekolah-sekolah cenderung kurang apresiatif dan malas untuk melakukan refleksi. Seharusnya sekolah memfasilitasi hal-hal dasar yang dibutuhkan oleh guru, bukan malah memaksakan budaya dogmatis dan konservatifnya.
Guru sudah tidak ada waktu lagi untuk pengayaan diri. Hidup di zaman sekarang guru dibuat tunggang langgang bahkan terseok seok menghadapi perubahan yang begitu cepat. Serta, kalau dulu kita hanya mengenal dua klasifikasi antara generalist dan specialist. Namun sekarang kita familiar dengan yang namanya expert generalist, layaknya kategori ini cocok disandang oleh profesi guru. Guru adalah manusia yang perlu diperhatikan sisi MANUSIAnya. MANUSIA disini merupakan akronim dari Manajemen, Nutrisi, Simbiosis, dan Administrasi.
Manajemen
Manajemen pendidikan yang diterapkan di lingkungan internal sistem persekolahan merupakan tanggung jawab kepala sekolah sebagai manajer pendidikan. Manajer pendidikan harus mengamati dan merespon segenap tantangan yang muncul agar bisa mendayagunakan berbagai sumber yang ada, salah satunya yaitu guru.
Bagi sekolah swasta yang ada di bawah naungan yayasan, terkadang otoritas kepala sekolah terkekang. Contohnya terkait kesejahteraan guru dengan menaikkan gaji. Kepala sekolah yang tahu benar dan menyadari kinerja guru akan mengupayakan kualitasnya dengan diapresiasi lewat kenaikan gaji. Namun, realitanya ketika tuntutan itu naik ke yayasan akan terpatahkan.
Perlunya penyamaan cara pandang dalam proses manajemen pendidikan. Guru sangat dieluhkan profesinya namun sangat ironis melihat apa yang mereka dapat. Dogma dari komite yayasan selalu yang dipakai adalah pengabdian. Seolah mereka lupa bahwa guru itu adalah profesi bukan seorang relawan.
Nutrisi
Tidak hanya siswa saja yang perlu nutrisi, guru pun juga perlu. Bagaimana siswa bisa tumbuh berkembang dengan baik jika gurunya malnutrisi?. Guru harus diperhatikan juga asupan pengetahuannya. Dengan adanya insentif untuk membeli buku, mendatangakan narasumber dibidang pendidikan, dan study tour. Merupakan upaya-upaya untuk menjaga agar guru terpenuhi nurisinya.
Selain itu pola waktu mengajar juga penting untuk diperhatikan. Yang menjadi guru millenial saat ini, pasti akan membandingkan antara pola jam belajar dulu dan sekarang. Dulu siswa pulang sekolah pukul 12 siang, banyak waktu selepas sekolah yang bisa mereka gunakan untuk bermain dan mengaktualisasikan diri. Namun sekarang, tren sekolah full day menjadi dominan. Siswa pulang sore dengan keadaan energi yang sudah terkuras habis tanpa menyisahkan sekedar untuk bermain. Begitupun dengan guru, tidak ada energi yang tersisa untuk mempersiapkan pembelajaran esok hari.
Simbiosis
Menjadi pendidik yang berbakat harus diwadahi oleh ekosistem kreatif yang memerlukan elemen simbiosis. Keterhubungan satu sama lain baik secara vertikal (struktur sekolah) maupun secara horizontal (masyarakat/walimurid) menjadikan guru bisa berkembang. Mau sekeren apapun potensi guru melakukan sebuah inovasi, jika tidak didukung oleh ekosistem, hanya akan menjadi potensi individu.
Administrasi
Dinamika pekerjaan harian guru bisa menjadi faktor yang menghambat mengapa perubahan tidak dapat terjadi secara efektif dalam lingkungan pendidikan. Perubahan kurikulum masih dipahami dengan hanya perubahan nama saja, namun administrasinya masih sama malahan tambah banyak.
Pada setiap sekolah ada kegiatan rutin supervisi, dimana setiap guru akan dicek kelengkapan administrasinya. Pengawas dari wilayah kecamatan akan turun ke sekolah-sekolah untuk melihat kesiapan sekolah dalam menghadapi pembelajaran dengan melihat kelengkapan administrasi.
Kegiatan tersebut hanya melanggengkan budaya konservatif. Pengawas hanya melihat ketersediaan kelengkapan adaministrasi dengan membawa laporan yang berisi tabel-tabel penuh dengan check list. Tanpa adanya refleksi dan penyederhanaan administrasi guru-guru sampai kapan pun akan terbelenggu sehingga tidak bisa menaikkan kualitas dirinya.
Penyunting: Putra