[Yogyakarta, 10 Juli 2025] GuruInovatif.id kembali menyelenggarakan webinar nasional Guru Inovatif Class ke-138 yang inspiratif untuk diikuti oleh guru di seluruh penjuru Indonesia. Dalam webinar kali ini, GuruInovatif.id menghadirkan narasumber Damsi, S.Pd., dengan topik pembahasan mengenai “Memanusiakan Kelas Digital: Integrasi SEL, Etika, dan Karakter di Tengah Teknologi.”
Damsi membuka sesi dengan menggambarkan kondisi aktual ruang kelas masa kini, yang tidak lagi terbatas secara fisik. Di tengah maraknya penggunaan teknologi dan kecerdasan buatan (AI), ruang belajar kini telah bergeser menjadi lebih fleksibel dan personal. Pembelajaran dapat berlangsung kapan saja dan di mana saja, bahkan mempertemukan guru dan siswa dari berbagai penjuru negeri dalam satu forum virtual yang sama.
Dinamika dan tantangan kelas digital di era AI
Menurut Damsi, kemajuan ini tidak lantas menjadikan teknologi sebagai solusi tunggal dalam pendidikan. Justru di sinilah letak tantangan dan peran penting guru sebagai pendidik yang memanusiakan teknologi. Teknologi yang tidak diarahkan dengan bijak berisiko menurunkan kualitas pendidikan. Anak-anak bisa menjadi terlalu bergantung pada AI, kehilangan kemampuan berpikir kritis, dan menjauh dari nilai-nilai interaksi sosial yang esensial dalam proses belajar.
Damsi kemudian mengajak peserta webinar untuk tidak semata-mata melarang penggunaan AI di kelas. Menurutnya, melarang total justru bisa membuat guru dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman. Yang lebih penting adalah mengajarkan literasi AI kepada siswa: kapan dan bagaimana AI bisa digunakan secara etis, bagaimana memverifikasi informasi yang diberikan AI, serta bagaimana membedakan antara berpikir kritis dan sekadar menyalin jawaban.
Model Pembelajaran Social Emotional Learning (SEL) dalam Pembelajaran
Damsi juga mengungapkan pentingnya Social Emotional Learning (SEL) sebagai bagian integral dari pembelajaran digital yang manusiawi. Ia menyampaikan bahwa Bapak/Ibu guru tentu sudah tidak asing lagi dengan konsep ini, namun perlu terus diingatkan agar pembelajaran tidak hanya berorientasi pada capaian kognitif, tetapi juga membentuk pribadi yang utuh.
Menurut Damsi, SEL adalah proses mendidik yang menyentuh aspek afektif dan sosial peserta didik, bagaimana mereka mampu memahami, mengelola emosi, serta menjalin relasi sosial yang sehat. Dalam realita pendidikan, tak sedikit kasus siswa yang mengalami tekanan mental, kehilangan arah, hingga muncul kasus tragis karena lemahnya kecerdasan emosional. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bersama bagi para pendidik.
Damsi menekankan bahwa tugas guru bukan hanya memastikan anak memahami materi, tapi juga membekali mereka kemampuan bertahan saat menghadapi tantangan hidup. Ia mengingatkan pentingnya lima kompetensi utama dalam SEL, diantaranya;
1. Self-awareness (kesadaran diri)
Kompetensi ini membantu siswa mengenali emosi, kekuatan, dan kelemahannya sendiri. Kesadaran ini menjadi dasar penting agar siswa memiliki rasa percaya diri dan mampu berkembang melalui proses, bukan sekadar hasil akhir.
Untuk mengintegrasikan SEL dalam keseharian pembelajaran, Damsi membagikan praktik sederhana namun berdampak besar. Salah satunya adalah aktivitas “check-in” emosi di awal kelas. Saat absensi, siswa diajak menyampaikan perasaannya hari itu atau memilih satu kata positif yang diawali dari huruf pertama nama mereka. Misalnya:
“Damsi – Dermawan”,
“Muheri – Mulia”,
“Siti – Sabar”,
“Salmiranti – Sukses”,
“Edward – Toleran”.
Baca juga:
Sosial Emosional Peserta Didik: Pentingnya Pengembangan Aspek Emosional dan Sosial dalam Pendidikan
Aktivitas ini menjadi sarana refleksi sekaligus membangun semangat positif dalam kelas. Dengan pendekatan seperti ini, Bapak/Ibu guru tidak hanya menghadirkan teknologi dalam kelas, tetapi juga nilai dan empati. SEL menjadi jembatan agar kelas digital tetap manusiawi, menghadirkan pendidikan yang utuh, dan memberi ruang tumbuh bagi karakter setiap anak.
2. Self-management (pengelolaan diri)
Setelah peserta didik memiliki kesadaran akan dirinya sendiri, langkah berikutnya dalam pembelajaran berbasis SEL adalah membantu mereka mengelola diri. Kemampuan ini mencakup bagaimana siswa mengatur emosi, merespons tekanan, menetapkan tujuan, dan menjaga motivasi agar tetap konsisten. Damsi menekankan bahwa tanpa keterampilan ini, baik guru maupun siswa bisa kehilangan arah di tengah tekanan peran dan tugas.
Dalam pembelajaran, guru bisa menerapkan teknik sederhana seperti mindfulness atau check-in untuk memberi jeda sejenak sebelum memulai kelas. Selain itu, siswa juga dapat menulis target mingguan agar lebih terarah dan termotivasi. Memberi waktu tenang saat siswa tampak lelah juga penting untuk menjaga energi dan kesiapan belajar.
Pengelolaan diri bukan sekadar teori, tapi harus dipraktikkan setiap hari. Ketika siswa mampu mengenali dan mengelola dirinya, proses belajar pun menjadi lebih bermakna dan berkelanjutan.
3. Social awareness (kesadaran sosial)
Kemudian kompetensi kesadaran sosial adalah kemampuan siswa untuk memahami perasaan, perspektif, dan kebutuhan orang lain. Ini mencakup empati, menghargai perbedaan, dan kepedulian terhadap sesama.
Dalam hal ini, Damsi menekankan bahwa empati perlu ditumbuhkan melalui pembiasaan. Misalnya, ketika ada teman sakit, siswa diajak untuk menunjukkan kepedulian, bukan sekadar melihat momen untuk pulang cepat. Di kelas, Bapak/Ibu guru bisa membuka diskusi seputar isu sosial seperti toleransi, perbedaan pandangan, atau adab bermedia sosial.
Proyek kolaboratif seperti membuat video atau poster bertema sosial juga jadi cara efektif untuk menanamkan nilai-nilai ini. Dari sini, siswa tidak hanya belajar tentang materi pelajaran, tapi juga bagaimana menjadi manusia yang peduli dan menghargai orang lain.

4. Relationship skills (keterampilan relasi sosial)
Keterampilan relasi sosial membantu siswa membangun hubungan yang sehat, mampu bekerja sama, menyampaikan pendapat, dan menyelesaikan konflik dengan baik. Hal ini penting agar mereka diterima dan dihargai di lingkungan sosialnya, bukan justru terjebak dalam kelompok yang saling menjatuhkan.
Dalam praktik di kelas, Bapak/Ibu guru bisa melatih ini lewat kerja kelompok yang seimbang, dimana setiap siswa diberi peran yang jelas, dilibatkan dalam diskusi, dan didorong untuk menghargai pendapat teman. Aktivitas seperti check-in dengan tema latar belakang keluarga atau cita-cita juga membuka ruang saling mengenal dan menghargai keberagaman.
Memberi ruang untuk saling memberi feedback, baik lewat diskusi langsung atau platform anonim seperti Padlet **mendorong siswa belajar memberi apresiasi, menyampaikan kritik secara bijak, sekaligus mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Semua ini menjadi fondasi penting dalam membangun relasi yang sehat dan empatik.
5. Responsible decision making (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab)
Kompetensi ini menanamkan pada siswa bahwa setiap keputusan memiliki konsekuensi. Mereka perlu belajar mempertimbangkan dampak dari tindakan, mengenali masalah, merancang solusi, dan bertindak dengan tanggung jawab.
Bapak/Ibu guru bisa melatih keterampilan ini melalui diskusi etika, studi kasus, atau simulasi situasi nyata. Misalnya: “Apa yang akan kamu lakukan jika melihat teman mencontek?” Dari situ, siswa belajar menyampaikan pendapat dengan bijak dan menyusun kesepakatan kelas sebagai bentuk tanggung jawab kolektif.
Aktivitas lain seperti merancang solusi atas masalah di kelas misalnya tentang kebersihan, ketidakhadiran teman, atau perilaku eksklusif melatih siswa untuk terlibat aktif dalam lingkungan sosialnya. Di sekolah digital, strategi seperti peer mentoring juga efektif, siswa yang lebih terorganisir membantu teman yang kesulitan, tanpa memberi jawaban langsung.
Terakhir, Bapak/Ibu guru bisa memberi ruang bagi siswa untuk memilih project mereka sendiri dan bertanggung jawab atas hasilnya. Proses ini mendorong mereka mengambil keputusan bersama, menyatukan ide, dan menyelesaikan tantangan secara kolektif membangun karakter pemimpin yang sadar risiko dan siap menghadapi konsekuensinya.
Baca juga:
Padlet! Media Kekinian untuk Memotivasi Siswa Lebih Aktif
Integrasi SEL dalam Pembelajaran
Damsi juga menggaris bawahi bahwa SEL itu penting untuk memanusiakan proses belajar, bukan sekadar mentransfer ilmu. Saat guru menjadi ”orang tua kedua” **dan sekolah menjadi ”rumah kedua”, siswa tidak hanya diasah secara kognitif, tapi juga dirangkul secara emosional dan karakter.
Anak tidak belajar dari guru yang mereka tidak sukai. Maka, menciptakan rasa nyaman, membangun kedekatan, dan memelihara semangat belajar jadi kunci penting. Ketika siswa merasa senang, waktu belajar terasa lebih cepat itulah keberhasilan guru dalam menumbuhkan engagement.
Ada dua alasan utama pentingnya integrasi SEL dalam pembelajaran:
1. Meningkatkan kecakapan hidup dan kesuksesan akademik.
Banyak riset menyebutkan bahwa hingga 70% kesuksesan dalam hidup ditentukan oleh kecakapan sosial dan emosional, seperti disiplin, kerja sama, dan kemampuan mengelola emosi.
2. Membantu siswa menghadapi stres dan tekanan sosial.
Anak-anak masa kini lebih rentan stres, bahkan sejak SD. Maka, guru perlu hadir sebagai pendamping yang bisa membantu mereka recharge dan menenangkan diri.
Damsi juga membagikan praktik nyata, peran guru, dan implementasi integrasi SEL di kelas dalam webinar ini loh! penasaran seperti apa penerapanya di lapangan? Yuk, simak tayangan ulang webinar Guru Inovatif Class ke-138 dalam tautan berikut ini.
Tertarik dengan materi-materi yang serupa? Yuk, bergabung menjadi membership GuruInovatif.id untuk mendapatkan berbagai akses materi pengembangan kompetensi guru lainnya.

Mari bergabung menjadi membership GuruInovatif.id
Penulis: Faqih | Penyunting: Putra