Kami di sini tak pernah pergi dari balik gerbang sekolah meski bel panjang pertanda usainya pembelajaran mengaung ke seluruh ruang kelas. Langkah anak-anak pewaris peradaban itu berlanjut menuju gedung dua lantai tak jauh dari tempat mereka duduk ber jam-jam tadi. Sebuah gedung yang bukan saja untuk berteduh, tapi juga tempat menjalani segala aktivitas bersama keluarga yang sebelumnya tak pernah mendiami rahim yang sama. Mereka harus menunggu satu bulan hingga tiba di suatu momen, sebuah kesempatan pulang untuk berkumpul dengan orangtua dan saudara.
Aku, bersama lima guru pejuang yang datang dari berbeda-beda pulau tetap tinggal untuk waktu yang lebih lama. Hanya jika ada libur panjang kami dapat beranjak untuk menengok orang-orang tersayang yang semakin menua di kampung halaman. Begitulah, sedari awal ikrar telah mengakar dan berjanji untuk tak tergoyahkan di mana pun diri ditempatkan. Hingga akhirnya, setelah sebentar menikmati kemewahan atmosfer pendidikan di Semarang, lima tahun telah kutempuh di seberang pulau Jawa ini, Kalimantan.
Profesi guru yang aku pahami bukan lagi sekadar menulis di papan tulis atau dengan media pembelajaran yang lebih canggih, kemudian menjelaskan, membuat soal, menilai, lalu pulang. Ada perjalanan panjang yang tak berujung dan terus berputar hingga entah kapan saat nanti panggilan memperjuangkan pendidikan ini disudahi.
Sebelum terik bergerak meninggi, aku lebih dulu berdiri di muka cermin dengan seragam dinas, meniliki bagian mana yang terlihat tidak rapih. Sudah terbayang dalam benak bagaimana nanti interaksi dengan anak-anak di kelas akan meramaikan suasana hati, dan aku sudah siap. Kesiapan yang bahkan sudah kutata untuk agenda setelah kegiatan pembelajaran. Pelajaran tambahan di luar jam sekolah, kegiatan ekstrakurikuler karya ilmiah, kajian, sampai kegiatan belajar mandiri di malam hari, semua itu yang kujalani sebagai seorang guru.
Nilai tak menjadi satu-satunya yang kami perjuangkan di sini, akan tetapi akhlak dan moral juga menjadi pantauan yang begitu mendasar. Menjadi guru sekaligus wali asrama bagi anak-anak adalah sebuah tugas yang tentu tak dapat tuntas dalam enam sampai sepuluh jam, melainkan 24 jam penuh yang terus berlanjut setiap harinya. Ada tanggungjawab besar menggelayuti dua pundak ini untuk berusaha mengajak mereka terus menghidupkan kebaikan. Meniliki sebuah tugas yang begitu besar tersebut, tentu komunikasi dengan orangtua siswa pun menjadi hal yang tak dapat ditinggalkan. Maka, kegiatan berikutnya adalah melakukan kunjungan pada masing-masing keluarga siswa. Perkenalan dan diskusi terkait perkembangan anak meskipun singkat, tapi itu sangat membantu.
Lepas dari interaksi dengan peserta didik di sekolah, ibarat juntaian tangan gurita, aku merambahi para alumni yang sudah hidup di berbagai sudut bumi. Jika yang sering kita dengar adalah siwa mengingat guru tetapi guru lupa siswa, maka yang berlaku bagiku adalah siswa dan guru saling mengingat dan terus terikat sekali pun masa SMA mereka bertahun-tahun sudah terlewat. Sebagai koordinator alumni, aku harus dapat merangkul mereka yang tentu membutuhkan beragam trik untuk melakukan pendekatan.
Perhatian seorang guru yang tak pupus setelah mereka lulus kubuktikan bukan dengan sekadar kata dan rencana. Komunikasi dengan alumni terus tersambung, dan aku masih menjadi guru seperti yang mereka kenal dahulu, yang memastikan kebaikan akhlak dan semangat belajar mereka. Selalu kuberi himbauan agar mereka tetap menjalin hubungan dengan teman-teman semasa di asrama dulu untuk saling membentengi agar tak mudah terbawa arus zaman yang semakin mengganas. Agar nuansa kekeluargaan dulu tetap hidup menemani perjuangan mereka menjemput masa depan yang semakin dekat.
Di balik gerbang sekolah, kesibukanku sebenarnya begitu melelahkan. Akan tetapi, seorang guru besar nan cendekiawan pernah berkata bahwa keguruan sebenarnya adalah yang memotivasi kalbu, mengasah semangat, menerangi pikiran, dan menguatkan hati. Dari situlah aku memiliki alasan untuk bertahan. Menjadi guru bukan lagi sekadar pekerjaan untuk menafkahi anak dan istri, melainkan ia menjadi catatan amal yang kelak akan mengalirkan pahala tanpa mengenal surut.
***