Telepon genggam berdering ketika waktu jam istirahat, waktu itu tahun 2019 saya bekerja di salah satu PT. ternama di Batam. Ternyata malaikat dunia yang ditelapak kakinya tertuju kepada surga, dia adalah ibu yang mengandung saya yang diberi nama Dono Setiawan. Ibu menyuruh saya pulang, mengabdi menjadi guru di salah satu daerah yang bernama Alai, yaitu pulau Ungar yang berdekatan dengan tanah kelahiran saya di Tanjung Batu Kundur. Ada lowongan pekerjaan di salah satu Sekolah Dasar di Kelurahan Alai sebelum pemekaran Kecamatan Ungar, yang waktu itu masih didampingi Kecamatan Kundur. Nama sekolah tersebut yaitu SD Negeri 012 Alai yang beralamat di jalan Kampung Baru Kelurahan Alai Kecamatan Kundur, sekarang menjadi SD Negeri 002 Ungar Kecamatan Ungar Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau.
Ibu menyuruh pulang, menginginkan anaknya untuk menjadi salah satu pengabdi pendidikan yang sukses nantinya. Ibu tidak menginginkan gaji besar untuk bekerja di kota besar dengan saya yang merantau jauh dari keluarga, namun ibu tetap kokoh dan yakin dengan menjadi guru tanpa memikirkan gaji besar ataupun kecil yang penting berkahnya, kemudian alasan ibu karena saya anak lelaki kedua yang bisa menjaga ibu nantinya ketika terjadi terhadapnya. Ibu tidak memikirkan berapa gaji yang akan saya dapatkan, walaupun saya menjelaskan bahwa gaji yang akan saya terima sekitar Rp. 700.000 per bulan. Dengan perjalanan darat menuju pelabuhan ke Alai atau pulau Ungar, kemudian menaiki kapal atau sering disebut boat, lalu naik ke darat dengan menumpang jasa ojek motor, saya akan sampai di sekolah tersebut dengan perjalanan keseluruhannya 30 menit setiap harinya. Ibu tidak menghalangi ridhonya karena Ibu yakin sukses yang didapatkan adalah berkahnya yang akan ditabung untuk di akhirat kelak.
Hari – hari dijalani, mengabdi 5 tahun lamanya, upah yang diterima 250 ribu per bulan dan dibayar setiap tig bulan sekali. Gaji tersebut berasal dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS),pengusulan gaji ke Kabupaten sudah diusulkan. Namun selama lima tahun belum ada informasi terkait gaji honor insentif untuk guru honorer khususnya untuk saya. Lima tahun itu Ibu saya membantu untuk biaya transportasi ke pulau saya bekerja dengan memberikan uang Rp. 20.000 per hari. Sungguh mulia hati Ibu begitu mengajarkan saya agar ikhlas, tanpa pamrih, tulus, dan bersyukur. Begitu besar pengorbanan Ibu kepada anaknya agar saya tetap berjuang seperti sosok Ibu.
Dikutip dari bangka.tribunnews.com sebuah artikel yang berjudul “Antara Keteladanan dan Nasehat Guru” bahwa menjadi guru yang sekadar bekerja hanya sebagai lahan memperoleh penghasilan memenuhi berbagai keperluan hidup, tentu akan berbeda dari segi kualitas pelayanan terhadap peserta didik ketika profesi guru menjadi sebuah panggilan jiwa. Karena, guru yang bekerja dengan panggilan jiwa, tentu tidak berlaku sekadar masuk kelas, menyampaikan materi dan menyelesaikan administrasi guru tiap semester. Dalam kapasitas sebagai fasilisator kegiatan pembelajaran, apapun kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah, seorang guru dengan kompetensi yang dimiliki hendaknya tidak mengabaikan nilai – nilai religius dan moral dalam setiap jam pelajaran yang berlangsung.
Disitulah saya bisa mengerti apa yang sudah diajarkan Ibu kepada saya sebagai pembelajaran berharga, berfaedah kepada ikhlas, dan memfasilitasikan rekor untuk mencapai pemberian kepada sesama namun bukan meminta untuk sesama. Artinya, Ibu sudah seperti guru, memberi contoh pembelajaran jiwa dengan memanggil jiwa nasionalisme kepada siswa yaitu saya. Siswa yang patuh dan sadar bahwa nilai – nilai moral yang berkaitan dengan sikap religius akan memberikan dampak positif karena pemberi yang hebat akan diterima oleh penerima yang hebat juga, harus yakin ilmu akan tersampaikan pada porsi yang tepat, bijak, toleransi, serta bertanggung jawab.
Setelah saya berpikir, bukan ketidakikhlasan yang saya lakukan untuk menyenangkan hati seorang Ibu, namun pembelajaran dan mengajaran ibu membuat saya takjub akan pentingnya nilai – nilai moral yang harus ditanamkan dalam diri, kemudian dilakukan dengan sepenuh hati, serta menghasilkan sukses dalam prestasi yang menyangkut dalam akhlak pribadi masing – masing. Dari harapan ibu adalah doa tulusnya, menyeberangi pulau adalah ridhonya, menjadi guru adalah kebahagiaannya. Ibu tahu bahwa saya memang ingin menjadi guru, namun tidak pernah terucap kata kepada ibu, karena saya tidak mau menyusahkan ibu. Dengan merantau jauh ke kota waktu itu, saya tidak mau menyusahkan ibu, saya mau memberikan dan membantu kebutuhan ibu sebagai anak yang bertanggung jawab untuk membahagiakan ibu. Namun, Tuhan berkehendak lain dan Tuhan punya rencana dari doa seorang Ibu. Pengabdian ibu sebagai ibu rumah tangga yang membantu ayah bekerja sebagai petani karet, ternyata ibu punya tekad bahwa ibu bisa memberikan fasilitas sederhana dengan anaknya menjadi guru. Ibu yakin bahwa pendidikan dengan cara memberi bukan hal yang tidak pantas ataupun kurang pantas, mungkin gaji di dunia masih kecil untuk katagori tidak atau belum cukup. Tetapi, yakin dan percaya gaji di akhirat nanti akan jauh lebih besar jika kita bersyukur dengan kondisi yang masih ada kehidupan lain dibawah kehidupan kita saat ini.
Penulis, Dono Setiawan