Menyongsong tahun ajaran baru, SMA kembali dihadapkan pada tantangan besar dalam menyiapkan peserta didik menghadapi perubahan sistem seleksi masuk perguruan tinggi. Salah satu ujian utama adalah Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang menjadi bagian penting dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). TKA menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi bukan lagi sekadar hafalan, tetapi penalaran, pemahaman konsep, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, strategi pembelajaran pun perlu diarahkan ke pola yang lebih adaptif dan kontekstual agar siswa tidak hanya menguasai materi, tetapi juga memiliki cara berpikir yang sesuai dengan karakter soal-soal TKA.
Kebijakan terbaru dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2022 menegaskan pentingnya transformasi dalam seleksi masuk perguruan tinggi yang lebih adil, transparan, dan berbasis pada kemampuan penalaran. Data dari Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BPPP) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, mayoritas siswa Indonesia masih mengalami kesulitan dalam subtes “Penalaran Kuantitatif” dan “Literasi Bahasa Inggris”. Rata-rata nilai nasional belum menunjukkan peningkatan signifikan, menunjukkan bahwa banyak sekolah masih beradaptasi dengan perubahan pendekatan evaluasi ini.
Di lingkungan SMA secara umum, respons terhadap kebutuhan menghadapi TKA sangat beragam. Beberapa sekolah telah mulai melakukan pendampingan tambahan, namun pendekatannya seringkali masih bersifat sporadis dan hanya menekankan pada banyaknya latihan soal. Padahal, pemahaman konsep, strategi menjawab, dan pengelolaan waktu justru lebih menentukan keberhasilan siswa. Salah satu upaya yang telah dilakukan sejak tahun lalu adalah menyelenggarakan responsi, yakni program pendampingan belajar di luar jam pelajaran utama, khusus untuk memperkuat kesiapan akademik siswa menghadapi TKA. Namun, responsi ini masih sering dipahami sebagai “kelas tambahan biasa” yang belum menyentuh kebutuhan belajar mendalam siswa.
Masalah muncul ketika ditemukan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Harapannya, siswa mampu mengerjakan soal-soal TKA dengan percaya diri dan pemahaman mendalam. Namun kenyataannya, banyak siswa justru merasa cemas, kebingungan membaca konteks soal, dan tidak terbiasa menggunakan strategi berpikir kritis. Dalam praktiknya, responsi yang berlangsung masih didominasi metode ceramah atau pembahasan teknis semata, tanpa diiringi pembinaan keterampilan belajar, refleksi diri, dan pendampingan mental. Hal ini membuat tujuan responsi sebagai bentuk layanan penguatan tidak tercapai optimal.
Melihat dari sisi keilmuan, penelitian-penelitian sebelumnya masih cenderung berfokus pada model bimbingan akademik atau penggunaan aplikasi digital pembelajaran tanpa mengeksplorasi secara mendalam peran responsi sebagai intervensi strategis dan holistik. Minimnya studi yang mengintegrasikan aspek kognitif, afektif, dan strategi belajar dalam konteks persiapan TKA di SMA menunjukkan adanya kesenjangan (gap) penelitian yang perlu dijembatani. Hal ini menjadi dasar pentingnya mengembangkan dan mengkaji lebih lanjut model responsi yang mampu menjawab tantangan zaman, bukan sekadar mengulang pola belajar konvensional.
Sebagai wali kelas dan pendidik yang terlibat langsung dalam dinamika pembelajaran siswa, penulis melihat urgensi untuk menguatkan responsi bukan hanya sebagai kegiatan tambahan, tetapi sebagai layanan strategis yang terintegrasi dalam sistem pembelajaran. Responsi yang bermakna dapat menjadi ruang reflektif bagi siswa untuk mengenal gaya belajar mereka, mengevaluasi kesulitan mereka, dan menemukan strategi yang cocok dalam menghadapi soal berbasis penalaran. Dalam praktiknya, responsi juga dapat membentuk learning community yang saling mendukung dan mendorong siswa untuk berkembang.
Langkah-langkah yang bisa diterapkan dalam penguatan program responsi antara lain: melakukan asesmen awal kebutuhan siswa, membagi siswa ke dalam kelompok belajar sesuai tingkat pemahaman, mengadakan sesi pemecahan soal secara kolaboratif, serta menyediakan ruang konsultasi dengan guru mapel maupun wali kelas. Responsi juga bisa dimanfaatkan sebagai momen untuk mengembangkan soft skills seperti manajemen waktu, regulasi emosi, dan berpikir reflektif. Dengan demikian, siswa tidak hanya mendapatkan tambahan materi, tetapi juga pendekatan yang lebih personal dan mendalam.
Diharapkan melalui penguatan program responsi ini, sekolah dapat mempersiapkan siswa menghadapi TKA secara lebih menyeluruh tidak hanya dari sisi akademik, tetapi juga kesiapan mental dan strategi. Bagi penulis, topik ini penting karena menyangkut tanggung jawab moral sebagai pendidik dalam memastikan bahwa siswa tidak hanya “siap ujian” tetapi juga siap berpikir, bertindak, dan bersaing di dunia yang semakin menuntut kecakapan nalar tinggi. Jika dijalankan secara konsisten dan disertai evaluasi berkala, program responsi dapat menjadi model layanan pendidikan yang relevan, berkelanjutan, dan inspiratif bagi SMA di Indonesia.
Penyunting: Putra