Berawal dari takut
Saat menjadi guru pertama kali pada 2016 lalu, jujur saya sangat bingung akan apa yang harus saya lakukan di Kelas. Ada perasaan takut salah, bingung bagaimana menyampaikan materi, berpikir keras menghadapi siswa, dan sempat benar-benar frustasi ma u masuk kelas. Padahal, kalau dirunut seharusnya ini bukanlah hal sulit yang dilakukan, karena dulu saat jadi mahasiswa saya pernah praktik mengajar.
Kebetulan, saat itu saya mengajar di SMA saya sendiri. Ingatan ini lalu menuju pada guru favorit saya semasa SMA dulu, guru bahasa Indonesia. Kebetulan juga, saya mengajar bahasa Jerman, jadi bisa dibilang kami serumpun. Oya, perkenalkan guru saya tersebut, namanya Pak Syai Zuhri. Sepanjang yang saya ingat, ia tergolong guru yang banyak ditunggu oleh muridnya, ketika ia berhalangan hadir, banyak dari kami kecewa. Padahal biasanya tidak begitu. Bahkan, teman-teman saya yang dulu dipandang agak ângeyelâ, penuh kerelaan mengikuti kelasnya dan mengerjakan kegiatan maupun tugas dari pelajarannya. Ia kreatif dan sering membawa hal baru di Kelas saya. Itulah yang membuat saya termotivasi untuk belajar dari Pak Zuhri.
Hal pertama yang saya lakukan adalah meminta izin pak Zuhri untuk melakukan observasi di Kelasnya. Ia pun tak masalah jika saya melihatnya mengajar penuh di Kelas untuk beberapa kali. Banyak hal yang kemudian saya tanyakan, dan salutnya ia mau meluangkan waktunya untuk berdiskusi membekali guru baru macam saya. Belakangan saya baru menyadari bahwa Pak Zuhri ini adalah mentor untuk saya. Ia banyak memberikan pandangan dan masukan mengenai pengelolaan kelas. Berdasar pengalaman mengajarnya lebih dari dua puluh tahun di beberapa Sekolah, saya jadi semakin yakin bahwa mengajar itu butuh seni . Untuk menjadi guru kreatif, inovatif, dan mumpuni memang butuh belajar. Salah satunya belajar dari mentor yang tepat. Maka, mari para guru, jangan letih untuk terus berguru demi kemajuan diri yang berdampak untuk para siswa .
Observasi di Kelas Pak ZUhri Dalam perjalanannya, saya merasa sudah lebih berani tampil di depan Kelas. Kata siswa saat itu, pelajaran bahasa Jerman menjadi lebih nyaman, karena hubungan guru dan siswa tidaklah kaku. Namun, walau begitu saya juga mengakui bahwa pembelajaran di Kelas terasa monoton, masih sering saya menggunakan buku sebagai sumber utama. Padahal, sumber daya tersedia lengkap, seperti jaringan internet yang stabil, laptop, LCD, siswa yang hampir semua sudah memiliki smartphone . Saya belum bisa memanfaatkan hal tersebut dengan baik, karena belum banyak melihat praktik baik dari guru-guru lain . Saya ingat sekali, sewaktu mencari di mesin pencarian, mengajar kreatif untuk guru bahasa Jerman. Ada banyak yang bisa dipraktikkan, tapi pikiran saya sering menolak , âah ini terlalu ribet, tidak cocok diterapkan, dan sepertinya sudah terlambat untuk kelas saya.â
KBM di Kelas, Fitri Ananda Pada pertengahan 2016, saya kemudian mendapat kesempatan untuk mengikuti Kongres Nasional Ikatan Guru Bahasa Jerman Indonesia. Pada hari pertama, saya duduk terperangah dan merasa baru saja keluar dari tidur panjang menyaksikan beberapa guru terpilih mempresentasikan Penelitian Tindakan Kelasnya. Ada yang sudah setahun, menggunakan kelas belajar digital, ada juga komik, memanfaatkan media film dan lagu, serta saat itu yang awalnya saya kira biasa saja adalah pemanfaatan Whatsapp untuk pembelajaran. Pada momen itulah, saya sedikit menyadari bahwa dalam pembelajaran hal sederhana jika dimanfaatkan dengan baik, akan memberikan dampak baik pula. Asal sebetulnya, guru mau mencoba. Saya kemudian berkenalan dengan beberapa guru dan berdiskusi terkait pengalaman mengajarnya . Saya ingat betul ketika seorang ibu guru bilang bahwa sebenarnya tidak ada hal yang benar-benar baru di Dunia ini, yang ada hanya kitanya saja yang baru mendengar atau baru mau memperhatikan. Sepulangnya dari kongres tersebut, saya tidak langsung serta merta mempraktikkan semua yang baru saja saya dapat. Bukan karena malas, tapi saya bingung yang mana yang harus saya coba. Ada dua hal yang kemudian saya lakukan yaitu memanfaatkan whatsapp serta instagram . Dulu, saya pikir, âAh, kayaknya biasa banget deh.â
Pengalaman Fitri Ananda Nah, yang saya pikir biasa dan sederhana itu ternyata jika dilihat saja, kalau dipraktikkan beda lagi ceritanya. Dari yang awalnya menyepelekan, saya jadi malu sendiri, karena dari situ saya jadi tahu bahwa saya ini memang banyak belum tahunya. Di Whatsapp contohnya, beberapa fitur baru saya gunakan untuk pembelajaran dan berfungsi baik. Dulu pada 2016 akhir, untuk penilaian membaca teks bahasa Jerman, saya memberikan opsi bagi yang malu bikin video agar cukup mengirimi saya Voice note . Hasilnya? 36 Siswa tanpa dipaksa mau mengerjakan tugas dari saya, karena guru mau bersikap luwes. Lalu, contoh dari instagram adalah saya bisa memamerkan hasil karya siswa, jadi apa yang sudah mereka buat tidak hanya tersimpan di Meja saya, tapi juga bisa dinikmati orang lain. Tak hanya itu, saya jadi belajar dan melihat akun-akun lain dan walau belum banyak, saya jadi tahu apa saja praktik baik di Sekolah lain, baik dalam mata pelajaran bahasa Jerman atau yang lain. Saya mulai belajar mendesain , karena merasa apa yang saya tampilkan di Kelas terlalu biasa. Ini semua karena media sosial tersebut. Pikiran saya mulai mau terbuka akan hal baru. Guru itu sebaiknya tidak hanya menguasai mata pelajarannya saja, tapi juga keterampilan lain yang menunjang profesinya. Bermula dari main instagram , membawa pengaruh dalam cara mengajar saya. Intinya, saya ingin Instagram sekolah menjadi ramai akan kegiatan di Kelas, untuk itu kontennya haruslah bervariasi. Saya mulai memodifikasi pengetahuan yang saya dapat untuk diterapkan di Kelas , termasuk mengaktifkan blog saya sendiri untuk pembelajaran. Inilah awal mula, saya merasa menyesal kenapa tidak dari awal menjadikan blog sebagai salah satu sumber belajar.
Hmm , tapi lagi-lagi saya merasa mulai bosan lagi dengan aktivitas di Kelas, saya ingin sesuatu baru dan ketika menyebar angket, siswa pun juga merasa demikian. Mereka ingin hal baru di Kelas. Saya pun mulai berani bermimpi lebih tinggi untuk mendatangkan Native Speaker ke Sekolah. Pada awalnya banyak yang menyangsikan impian ini, mereka berpikir apakah ada yang mau ke Sekolah dan apakah siswa bisa berhadapan dengan orang-orang asing. Sedikit merasa diremehkan, membuat semangat saya malah makin berkobar , apalagi pada akhir 2016 sekolah mulai memberikan kesempatan saya untuk menjadi asisten pembina ekstrakurikuler dan mengizinkan siswa mengikuti lomba bahasa Jerman. Hasil lomba pertama bahasa Jerman untuk siswa semakin membuat saya punya tujuan jelas dalam menjalani kehidupan sebagai guru. Walau belum menang, saya saat itu semakin punya harapan lebih terhadap siswa-siswa saya. Ini penting bukan?
Pada awal 2017, saya mendapat undangan seminar di Universitas tempat saya kuliah dulu. Ada dua agenda sebenarnya, seminar dan lomba. Namun, karena merasa belum siap, saya memilih tidak mengikutkan siswa pada lomba tersebut. Kok berbanding terbalik ya dengan target baru saya. Target baru saya adalah meraih kemenangan untuk siswa dan mendatangkan Native speaker . Saya masih ingat menuliskan target tersebut di buku catatan pribadi. Saya sengaja memutuskan hal tersebut dengan tujuan belajar terlebih dahulu dan melihat medan pertarungan . Rasanya sesak sekali ya, melihat guru lain membawa anak didiknya, sedangkan saya kesitu tidak. Ditambah rekan guru sekabupaten saya berhasil membawa siswanya jadi juara Lomba Cerdas Cermat Pengetahuan seputar Jerman. Di Situ, saya memanfaatkan kesempatan untuk bertanya dengan narasumber dan guru lain.
Seminar tersebut mengantarkan saya bertemu dengan asisten dosen yang berasal dari Jerman. Apakah saya langsung mendekatinya seusai ia mengisi seminar? Tidak. Saya perlu beberapa puluh menit meyakinkan diri untuk berkenalan dan bertanya padanya mengenai niat saya mengundangnya ke Sekolah. Pada saat istirahat saya mencarinya di Jurusan, tapi tidak bertemu. Hampir saja menyerah, saya memilih menungguinya dan memang jodoh tak kemana. Kami pun bertukar nomor. Setelah sepakat dan bersabar, ia betulan datang ke Sekolah pada Maret 2017. Tidak hanya sendiri, ia datang berdua. Betapa saat itu saya benar-benar bahagia dan merasa menang. Menang akan ketakutan diri . Momen itu membawa perubahan . Saya jadi lebih percaya diri dan tidak kapok untuk mencoba hal baru. Siswa lebih menghargai keberadaan bahasa Jerman di Kelas dan ini terasa menyenangkan.
Berkat prestasi itu juga, saya berhasil menggaet dua siswa untuk mengikuti lomba membaca berita bahasa Jerman tingkat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta-Jawa Tengah. Kami berlatih dengan sungguh-sungguh. Saya tidak sendiri dalam melatih, ada guru saya bu Putu dan pak Zuhri yang saya libatkan untuk menjadi komentator. Istilah masa ini adalah berkolaborasi untuk penampilan terbaik dari sekolah kami. Menjelang perlombaan, saya dan siswa berkumpul dan tukar pikiran, kami pun sepakat untuk menerima keputusan yang ada nanti. Fokus kami adalah dapat menampilkan yang terbaik.
Menjadi juara memang ada dalam benak saya sebagai guru, tapi hal tersebut saya tepis. Saya menyadari kami ini pendatang baru dan masih belajar. Siswa tersebut ada Wahyu Eko dan Zulfina. Singkatnya, pengumuman pun akan dimulai. Saya duduk di belakang, terpisah dari peserta lomba. Saya mencoba biasa saja dan menikmati pengumuman lomba lain. Tibalah pembawa acara membacakan juara baca berita dari urutan ketiga. âWahyu Eko Fitriyanto, SMA N 2 Boyolali.â Detik itu saya tak percaya. Saya terharu melihatnya maju menerima piala. Dari pengalaman tersebut membawa saya lebih bersemangat. Hal-hal baru kembali hadir di Sekolah. Kami kedatangan native speaker lagi. Sejak itu, setiap tahun sampai dengan 2019, selalu ada native speaker Jerman yang berkunjung ke Sekolah kami. Saya mulai rutin mengikuti lomba siswa.
Titk balik hidup saya ada pada 2019, karena banyak perlombaan yang diikuti tapi tidak membuahkan hasil. Saya malah ingin berhenti, mengambil jeda untuk ini semua. Saya mulai marah pada keadaan dan sempat merasa sombong. âKenapa kami kalah? Padahal kami pernah ini dan itu, saya sudah begini dan begitu.â Semuanya makin parah, saat pandemi datang, perasaan saya carut marut, karena native speaker batal datang ke Sekolah. Siswa belajar dari rumah membuat saya juga bingung harus diapakan. Tak hanya itu, saya juga sempat didera masalah pribadi yang menguras banyak hal. 2019-2020 benar-benar tahun terberat!
Walau begitu, ada hal yang saya syukuri, yaitu saya mulai mengenal kurikulum dan tergerak untuk membuat untuk membuat bahan ajar yang sesuai di Kelas. Berkali-kalai revisi, akhirnya diktat bahasa Jerman pertama saya selesai dan dapat digunakan di Kelas X pada waktu itu.
Diktat Fitri Dari sini saya mulai punya waktu belajar menyusun silabus dan rencana mengajar sendiri. Ada kesadaran untuk tertib administrasi dibanding tahun pertama mengajar. Mulaialah saya punya ilmu baru dan membagikannya lewat blog pribadi. Dari situ saya mendapat umpan balik dari beberapa pembaca yang mampir.
Pandemi datang
Tentu masih membekas di ingatan kita bukan, bahwa kita sekolah sempat diliburkan sebelum ada keputusan belajar daring? Saya jadi punya waktu untuk menyendiri dan berpikir. Inilah momen refleksi terbaik saya saat itu. Keangkuhan saya mulai tumbang, karena sejatinya diri ini dan bagaimana cara menjalani banyak hal perlu diperbaharui. Saya butuh banyak membaca dan belajar lagi, saya harus berubah.
Pandemi membuka banyak kesempatan untuk belajar, tak ada batasan lagi. Saya bebas belajar dari mana saja tanpa perlu menunggu undangan. Paradigma belajar saya mulai berubah, hubungan dengan siswa yang awalnya sebatas di Kelas, malah menjadi hangat selama berjauhan. Saya mengenal arti kolaborasi sesungguhnya dari situasi ini. Ide baru bermunculan, dan dengan keberanian, kami tetap mendatangkan native speaker secara virtual. Siswa ikut mengorganisir. Inilah obat sakit saya, ternyata ada solusi untuk rencana tahunan yang batal tersebut.
kelas virtual bersama native pertama selama pandemi kelas virtual bersama native keduaselama pandemi Tak hanya itu, siswa menjadi lebih berani mengritisi proses pembelajaran saya yang terlalu ribet. Saya kemudian mencoba mempelajari cara mengorganisir blog dan puji syukur, setelah melewati masa-masa berat, dua blog saya bisa dimonetisasi. Blog pertama adalah blog pribadi, dan yang kedua lahir atas saran dari pari siswa, yaitu blog khusus pembelajaran bahasa Jerman. Jika ingin berkunjung silakan klik https://linktr.ee/fitanan . Blog pembelajaran ini berhasil bertahan, karena melibatkan siswa sebagai kontributor.
Lalu, bagaimana dengan instagram yang saya ceritakan? Lagi-lagi, pandemi membuatnya ramai. Banyak kegiatan kreatif yang diinisiasi siswa dan kemudian dipampang di Situ. Sebut saja : pidato bahasa Jerman, pentas seni, dan hasil karya mereka selama pembelajaran. Walau begitu, hati saya mulai hambar, karena merasa ada yang kurang. Belum ada prestasi âdengan pialaâ yang ditorehkan lagi. Sisi baiknya, saya malah jadi lebih âlegowoâ dan menganggap inilah saatnya belajar banyak hal. Kemenangan itu tidak hanya dinilai dari kejuaraan saja. Guru harus menciptakan pembelajaran di Kelas agar makin bermakna.
deutsch_sman2boyolali Sembari berani bereksperimen dengan pembelajaran, saya banyak mengikuti webina r, kelas daring, dan lebih banyak membaca serta menulis. Pada suatu hari, saya memaksa diri mengikuti lomba lagi tapi bukan lomba siswa, melainkan lomba guru. Lomba pertama yang saya ikuti adalah lomba mendesain poster pembelajaran. Saya mendapat urutan kedelapan dan tetap mendapat hadiah hiburan dari panitia. Wah, walau belum juara pertama saya jadi tersanjung dan merasa diingatkan bahwa belajar desain saya belum khatam. Lomba selanjutnya yang saya ikuti adalah lomba pembuatan video pembelajaran. Saya sempat merasa ini akan menang. Tapi, tentu tidak karena setelah dilihat ulang, videonya jelek sekali. Namun, saya dan beberapa orang tetap mendapat apresiasi lho untuk video tersebut. Video kami masuk sebagai Learning Object dan kami diakui sebagai kontributor. Wah, saya beruntung sekali berada dalam komunitas yang positif dan dengan berkarya saya akan menemukan nilai diri saya.
Tengah tahun 2020, sekolah mempercayakan saya untuk membimbing lomba siswa tingkat Nasional. Saya sebetulnya sangat takut, tapi kalau tidak menghadapi ini saya tidak akan merasakan pengalaman dan mendapat wawasan baru. Siswa saya mampu lolos sampai final, namun kalah dalam bidang penelitian. Kecewa, tapi sebentar saja. 2020 menjadi tahun hebat untuk belajar. Saya mulai mengubah pola pikir dan tidak malu dicap bodoh atau tidak tahu. Memasuki tahun baru, saya berusaha untuk tidak lengah lagi dan tidak merasa sombong seperti sebelumnya, maka dari itu pada 2021 saya makin getol belajar dan mencari kesempatan baru, baik itu lomba guru dan siswa. Tuhan menjawab usaha tersebut, pembelajaran di Kelas lebih terarah, saya dinyatakan lolos seleksi P3K guru tahap 1 dan mendapat juara beberapa lomba baik itu individu maupun kolaborasi bersama siswa tingkat provinsi dan Nasional. Selain itu, siswa yang ikut saya bimbing perlahan mulai menorehkan prestasi. Kemenangan yang saya idamkan tersebut, mempertemukan saya dengan para juara lain yang luar biasa. Di situlah saya bersyukur, karena tidak pantas untuk sombong dan bertekad untuk memperbaiki diri. Luar biasa pengalaman 2021.
Bukan hanya itu, hubungan saya dengan guru lain juga makin menyenangkan. Alhasil, kami sepakat menyelesaikan proyek sekolah yang kemudian kami jadikan tempat berkarya. Kami sempat membuat film bersama https://youtu.be/D7GNs-t8Hs0 , yang kemudian di tahun berikutnya juga kami lakukan https://www.youtube.com/watch?v=0X2DSMV9-4g . Kami juga menulis dan menerbitkan buku bersama. Inilah yang saya idamkan sejak lama. JIka sendiri terasa lama, maka dengan berjalan bersamalah tujuan tersebut bisa terwujud. Kolaborasi jadi kunci.
kolaborasi menulis artikel
Saya sudah merasa ada di zona nyaman, kesempatan eksplorasi diri makin beragam, berkat instagram dan blog yang dibangun dulu, pada Mei 2022 saya diminta menjadi narasumber untuk berbagi praktik baik pembelajaran di Sekolah saya https://youtu.be/jMXqQ19Kjd0 . Namun, pada Juni awal saya pindah tugas di Satuan pendidikan lain. Saya harus belajar lagi dan menghadapi suasana yang sangat berbeda dari sebelumnya. Sempat sedih, tapi saya meyakini, guru harus bisa beradaptasi di manapun ia berada dan saya tidak kehilangan zona nyaman saya, karena tempat baru ini adalah sebuah tantangan agar saya dapat menciptakan zona nyaman baru. Saya harus siap membangun semuanya dari awal, menyusun ulang strategi, melakukan percobaan, berusaha memberi yang terbaik dan tentu saja berkolaborasi dengan beragam orang. Perubahan itu pasti.
https://youtu.be/jMXqQ19Kjd0 Kesimpulan
Kesimpulannya adalah bahwa waktu yang diberikan adalah kesempatan untuk berbenah, setiap hari adalah hadiah. Saya harus menjadi kreatif dan inovatif setiap waktu, walau lewat hal sederhana. Pengalaman yang telah dilalui ini mengantarkan saya pada refleksi diri, bahwa mencapai itu semua, baik itu masa daring dan luring adalah dengan :
Saya harus segera mencari mentor baru. Mengubah persepsi dan menguatkan karakter serta mentalitas. Mengenali kurikulum. Jangan cepat puas dan harus punya strategi Berkumpul dengan orang yang lebih ahli. Tidak sungkan bertanya. Tidak malu mencoba hal baru. Tidak mengenal istilah terlambat. Tidak menyepelekan sesuatu. Tetap semangat dan tidak putus keyakinan. Berani berkarya. Mencari kesempatan dan wadah belajar yang mendukung (seperti guruinovatif.id, platform guru belajar, merdeka mengajar, dll.) Memperbaharui dan menetapkan tujuan baru. Menguasai keterampilan lain selain mengajar. Berusaha menciptakan zona nyaman baru dalam proses kehidupan. Berpikiran terbuka. Harus berkolaborasi. Mengamati, meniru dan memodifikasi sesuatu yang baik. Tidak pelit berbagi pengalaman. Mengakui kelemahan dan rutin berefleksi. Menguatkan kelebihan. Mau menghadapi masalah dan menyelesaikan yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Mau berdiskusi. Mau mencari solusi dan berjuang. Harus memaksa diri berubah menjadi lebih dari sebelumnya. Berusaha menciptakan pembelajaran bermakna.. Harus berkarya dan melewati prosesnya. Menjadi kreatif dan inovatif memerlukan proses dan bekal, serta didasari masalah-masalah yang dihadapi. Semoga para guru selalu memberikan yang terbaik dan mau menghayati setiap hal yang terjadi. Semangat!