Artikel
BAHASA JAWA TIDAK AKAN PUNAH, ADA AJA DIBANDHINGKE
(PANDANGAN GURU BAHASA JAWA)
Oleh : Sri Suprapti, Guru Bahasa Jawa di Surakarta
Bangganya aku menjadi seorang Guru Bahasa Jawa salah satu SMP di Surakarta. Rasa khawatir dengan punahnya Bahasa Jawa hilang sudah setelah Istana Merdeka bergoyang. Bagaimana tidak? Ketika seorang anak kecil bernama Farel Prayoga berasal dari daerah Jawa Timur yang tadinya seorang pengamen, bisa menjadi tamu undangan untuk menyanyikan lagu Jawa di Istana Merdeka dalam rangka memperingati HUT RI ke 77.
Mulai dari Presiden dan Para Menteri semuanya ikut bahagia dan bergoyang, bahkan Para Menteri sampai turun ke lapangan mendekati sang penyanyi. Tetesan air mata sebagai Guru Bahasa Jawa jatuh membasahi pipi, mengingat lagu yang dinyanyikan menggunakan Bahasa Jawa (saking bangganya).
Manusia merupakan mahkluk individu dan sosial. Sebagai mahkluk sosial, manusia perlu berinteraksi dengan manusia lain. Dalam berinteraksi, manusia memerlukan bahasa untuk menyampaikan pikirannya. Menurut Kridalaksana (2001), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Dengan demikian, bahasa merupakan unsur terpenting dalam sebuah komunikasi.
Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa komunikasi yang digunakan secara khusus di lingkungan etnis Jawa. Bahasa ini merupakan bahasa pergaulan, yang digunakan untuk berinteraksi antarindividu dan memungkinkan terjadinya komunikasi dan perpindahan informasi sehingga tidak ada individu yang ketinggalan zaman (Ahira, 2010).
Menurut Hermadi (2010), bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari di daerah Jawa, khususnya Jawa Tengah. Hal ini tidak mengherankan karena kejayaan kehidupan keraton di masa lampau banyak terdapat di daerah Jawa Tengah dibanding di daerah Jawa yang lain. Dengan demikian, bahasa Jawa merupakan bahasa asli masyarakat Jawa di Indonesia, khususnya di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan daerah di sekitarnya.
Bahasa Jawa adalah bahasa ibu yang menjadi bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat Jawa. Bahasa Jawa juga merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan dan dijaga karena jika tidak bahasa Jawa dapat terkikis dan semakin hilang dari Pulau Jawa.
Aja dibandingke merupakan judul lagu yang dinyanyikan Farel Prayoga, yang liriknya seperti di bawah ini :
Ojo Dibandingke
Abah Lala
Wong ko ngene kok dibanding-bandingke (banding-banding)
Saing-saingke, yo mesti kalah
Ku berharap engkau mengerti, di hati ini
Hanya ada kamu
Jelas bedo yen dibandingke.
Ora ono sing tak pamerke
Aku ra iso yen kon gawe-gawe (gawe-gawe)
Jujur, sak onone
Sopo wonge sing ra loro ati?
Wis ngancani tekan semene.
Nanging kabeh ora ono artine
Ra ono ajine
Wong ko ngene kok dibanding-bandingke (banding-bandingke)
Saing-saingke, yo mesti kalah
Tak oyak'o, aku yo ora mampu
Mung sak kuatku mencintaimu
Ku berharap engkau mengerti, di hati ini
Hanya ada kamu
Sebetulnya lagu di atas bukanlah menceriterakan hal yang baru, namun yang menjadi menarik menurut penulis adalah karena penyanyinya masih seorang anak kecil. Dan yang sangat membuat tamu hadir bergoyang yaitu karena penyanyinya menggunakan bahasa daerah yaitu Bahasa Jawa dan ada sedikit dicampur dengan bahasa Indonesia. Penulis yakin apabila yang dinyanyikan itu menggunakan Bahasa Indonesia semuanya, tidak mungkin seheboh itu.
Perlu diketahui bahwa makna atau arti dari pada lagu yang berjudul Ojo Dibandingke karya Abah Lala dari Boyolali, yang dalam Bahasa Indonesia artinya Jangan Dibandingkan ini mengisahkan seorang pria yang sangat mencintai sang kekasih walaupun kerap dibanding-bandingkan dengan pria lain di luar sana. Liriknya juga memiliki makna tentang perjuangan pria tersebut dalam menunjukkan cintanya kepada sang kekasih. Tidak ada yang aneh bukan?.
Sebetulnya banyak sekali lagu-lagu lainnya yang menggunakan Bahasa Jawa menjadi terkenal. Seperti yang dinyanyikan oleh Didi Kempot (alm), Soimah, Via Vallen, Nella Kharismaa, Cak Diqin, Sonny Josz, dll. Dengan banyaknya bukti dari penyanyi-penyanyi tersebut sekaligus merupakan bukti bahwa Bahasa Jawa bukan hanya bahasa lokal namum sudah menjadi bahasa Nasional. Melalui lagu-lagu Jawa, masyarakat Indonesia dengan senang dan dengan mudah akan mengikuti dan menyanyikannya, walaupun dalam komunikasi sehari-harinya tidak menggunakan bahasa Jawa.
Sampai saat ini media massa masih terus membahas hebatnya Farel Prayoga dengan lagunya Aja dibandhingke. Bahkan di dunia nyata, di manapun berada entah itu di warung/rumah makan, Pasar, Bus, dll. semuanya memutar lagu itu dengan bahagianya. Sepertinya tidak ada orang yang mempunyai masalah apapun, karena semua terlihat bahagia. Berarti memang lagu itu benar-benar membuktikan sebuah lagu sebagai penghilang permasalahan. Seandainya lagu itu dinyanyikan sebelum tanggal 17 Agustus 2022, mungkin tidak ada permasalahan yang dibuat oleh orang-orang yang mempunyai jabatan dan pangkat yang tinggi.
Yang perlu dibanggakan adalah bahwa Bahasa Jawa memang bahasa yang terkenal halusnya. Bahasa Jawa memiliki beberapa tingkat tutur, atau ragam bahasa yang berhubungan dengan etika pembicara pada lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Penggunaannya bergantung pada hal-hal seperti derajat tingkat sosial, umur, jarak kekerabatan dan keakraban. Perbedaan antara tingkat tutur dalam bahasa Jawa utamanya adalah pada kosakata serta imbuhan yang digunakan.
Berdasarkan derajat formalitasnya, kosakata dalam bahasa Jawa dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu 1) ngoko, 2) madya, dan 3) krama. Bentuk ngoko digunakan untuk berbicara kepada orang yang akrab dengan pembicara. Bentuk krama, yang jumlahnya ada sekitar 850 kata, digunakan untuk berbicara secara formal kepada orang yang belum akrab atau derajat sosialnya lebih tinggi. Beberapa imbuhan juga memiliki padanan krama.
Selain tiga ragam kosakata yang didasarkan pada derajat formalitas, ada pula jenis kosakata yang digunakan untuk menandakan penghormatan (honorific) atau perendahan diri (humilific), yaitu krama inggil dan krama andhap. Bentuk krama inggil digunakan untuk merujuk pada seseorang yang dihormati oleh pembicara, kepemilikannya, serta perbuatannya.
Bentuk krama andhap digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang ditujukan pembicara atau orang lain kepada orang yang dihormati tersebut. Beberapa pronomina persona juga memilki padanan krama andhap. Karena bentuk krama inggil dan krama andhap bukan penanda derajat formalitas, kosakata jenis ini dapat digunakan dalam semua tingkat tutur.
Dalam tingkatan bahasa ini, penggunaannya berbeda-beda sesuai dengan lawan yang diajak berbicara. Sehari-hari, ngoko digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya atau yang lebih muda, madya digunakan untuk berbicara dengan orang yang cukup resmi, dan krama digunakan untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau yang lebih tua. Oleh sebab itu, bahasa Jawa memiliki etika bahasa yang baik untuk digunakan dan mencerminkan karakteristik adat budaya Indonesia sebagai bangsa timur.
Sebagai Guru Mata Pelajaran Bahasa Jawa merasa sangat prihatin karena Bahasa Jawa yang dulu merupakan bahasa yang besar, dengan ber-tambahnya waktu, penggunaannya semakin berkurang. Saat ini para kaum muda di Pulau Jawa, khususnya yang masih di usia SMP, sebagian besar tidak menguasai bahasa Jawa. Hal ini bisa disebabkan oleh gencarnya serbuan beragam budaya asing dan arus informasi yang masuk melalui bermacam sarana seperti televisi dan lain-lain.
Kondisi tersebut juga kian diperparah dengan adanya pandangan generasi muda terhadap bahasa Jawa. Mereka menganggap bahasa Jawa adalah bahasa orang-orang desa, orang udik, orang-orang pinggiran, atau orang-orang zaman dulu. Mereka mengaku malu dan gengsi menggunakan bahasa Jawa dan memilih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa gaul.
Banyak pemuda Jawa yang tidak dapat berbicara menggunakan bahasa Jawa, namun mengerti jika diajak berbicara menggunakan bahasa Jawa. Ini disebabkan sejak kecil mereka telah dibiasakan berbicara bahasa Indonesia oleh keluarganya. Mereka dengan jujurnya menyampaikan bahwa di rumah memang tidak diajarkan berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Jawa krama alus dengan Orang Tuanya.
Sebenarnya dalam bahasa Jawa tercermin adanya norma-norma susila, tata krama, menghargai yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Seseorang sering menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi sehari-hari, tetapi sering lupa bahwa terdapat tingkat tutur penggunaan bahasa Jawa yang dikenal sebagai penerapan unggah-ungguh. Dampak negatif dari adanya pendangkalan bahasa Jawa di kalangan pemuda Jawa kini mulai terasa akibatnya. Banyak remaja atau pemuda yang tidak tahu penerapan sopan santun kepada mereka yang lebih tua, atau yang seharusnya dihormati. Hal yang lebih memalukan bila mereka menggunakan bahasa Jawa krama halus untuk dirinya sendiri (dirinya sendiri dibahasakramakan).
Pemakaian bahasa gaul, bahasa asing, dan bahasa seenaknya sendiri (campuran Jawa-Indonesia Inggris) juga ikut memperparah kondisi bahasa Jawa yang semakin lama semakin surut. Betapa tidak, saat ini murid tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang mendapatkan pelajaran bahasa Jawa sebagian besar dari bangku sekolah.
Meskipun ada, jam mata-pelajarannya juga sangat sedikit, hanya 2 X 45 menit dalam seminggu, sedangkan penggunaan bahasa Jawa di lingkungan rumah pun tidak lagi seketat seperti di masa-masa dulu. Orang Tua tidak lagi membiasakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari untuk berkomunikasi di keluarga. Sebagian besar malah mengajarkan bahasa Indonesia atau bahasa asing kepada anak-anak mereka. Bahasa Jawa, apalagi bahasa Krama Inggil pun semakin terabaikan dan bahkan terlupakan sama sekali.
Lunturnya bahasa Jawa membuat kualitas budi pekerti dan tata krama para pemuda di masyarakat Jawa semakin menurun. Karena cenderung tidak bisa berbahasa Jawa halus mereka lebih memilih berbahasa Indonesia yang dianggap lebih mudah.
Oleh karena itu, sebagai Guru Bahasa Jawa berusaha bahwa pendidikan berbahasa Jawa yang baik dan benar perlu ditanamkan sejak dini supaya bahasa Jawa tetap terjaga kelestariannya dan karakteristik masyarakat suku Jawa yang dikenal berbudi luhur dan memiliki tata krama yang baik tetap terjaga.
Dengan penjelasan seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya mata pelajaran Bahasa Jawa di sekolah-sekolah sekaligus dengan adanya lagu-lagu dengan menggunakan bahasa Jawa, Bahasa Jawa akan tetap terjaga dan tetap dijaga kelestariannya sebagai warisan budaya Indonesia.
Oleh karena itu, harapan Penulis generasi muda suku Jawa sudah sepantasnya melestarikan bahasa Jawa demi kelangsungan dan tetap terjaganya bahasa Jawa di Pulau Jawa. Apalagi, bahasa Jawa merupakan bahasa budi yang menyiratkan budi pekerti luhur, atau merupakan cerminan dari tata krama dan tata krama berbahasa menunjukkan budi pekerti pemakainya.