Sekolah dalam pengertian sederhana adalah tempat anak-anak menuntut ilmu, tempat orang tua memasrahkan pendidikan putra putri kepada Bapak dan Ibu Guru. Tempat terbatas dalam suatu area yang di dirikan bangunan yang menjadi kelas bagi anak-anak belajar. Ke sekolah berarti juga masuk kelas. Anak yang bersekolah menurut pemahanan awam, anak yang berangkat ke suatu tempat yang di situ dia menimba ilmu dari Bapak dan Ibu Guru. Anak itu memakai seragam, bersepatu, membawa buku tulis dan pelajaran yang ditaruh di dalam tas. Sekolah pula adalah tempat bagi Bapak dan Ibu Guru memberikan pendidikan baik ilmu maupun akhlak, dan sesuai kurikulumnya. Sekolah di pimpin oleh seorang Kepala, yang tentu saja tugasnya memanajemen segala hal yang ada di sekolah. Manajemen lembaga sekolah ini berhierarki hingga ke Pemerintah Pusat. Itu adalah sedikit gambaran tentang sekolah di mata orang awam. Bahkan di mata Bapak dan Ibu Guru sendiri. Yang saya sebut sebagai sekolah dengan makna konvensional.
Sekolah dalam arti yang lebih luwes adalah tempat di manapun itu, untuk menuntut ilmu. Tidak hanya di kelas, tetapi juga memanfaatkan lingkungan sekitar sekolah. Misalnya kampung sekitar, tempat ibadah, lapangan desa, balai pertemuan, kebun, sawah, bahkan sungai dan tempat apapun yang bisa digunakan untuk proses transfer ilmu, baik pengetahuan maupun keterampilan. Misalnya pabrik-pabrik lokal, tempat produksi UMKM, bahkan rumah sendiri juga bisa dimaknai sebagai sekolah. Lebih kongkritnya akan saya beri contoh. Anak pengen belajar agama maka silahkan pergi ke Guru Ngaji. Belajar silat maka menemui ke Guru Kanuragan. Belajar jahit maka mengasah ketrampilannya dengan mengikuti kursus jahit. Singkatnya di zaman sekarang, belajar apapun itu lebih mudah. Bahkan kita juga bisa memaknai bahwa sekolah-sekolah itu semua diringkas dalam satu benda kecil yang bernama Android dengan koneksi global. Itulah pemahaman sederhana saya tentang sekolah dan sekarang lebih spesifik lagi menjadi Kurikulum Merdeka. Merdeka belajar di manapun, kapanpun, dengan siapapun.
Kurikulum Merdeka tentu tidak dapat lepas dengan nilai Profil Pelajar Pancasila. Masih menurut pendapat saya, nilai nilai itu secara sederhana nya adalah tugas guru untuk memoles. Nilai-nilai itu semua sudah ada dalam diri manusia lebih khususnya anak anak. Tinggal untuk di biasakan. Tinggal untuk di arahkan. Tinggal untuk di bina dan di pupuk agar nilai nilai itu tumbuh sempurna dalam diri anak.
Masih ingat kan dengan upacara peringatan HUT RI yang ke-77 di Istana Negara kemarin? Tentu masih. Dan pasti bayangan kita anak bernama Farel Prayoga, yang viral itu, karena aksinya menggoyang Istana. Ada yang mencibir, ada yang memuji. Ada yang mengkritik, ada yang asyik. Ada yang mengelus dada, ada yang bangga. Ada yang geleng-geleng kepala, ada yang bersuka cita. Apakah efek itu semua tidak diantisipasi oleh pihak Istana? Tentu sudah. Dan pihak Istana pun tampak merestui. Silahkan berkreasi, berkarya dan lakukan apapun yang baik dan tidak melanggar norma. Toh itu semua juga proses belajar. Viralnya Farel, membuat mata kita terbuka semakin lebar, bahwa kesuksesan — mencari duit — itu tidak melulu harus melalui jalur sekolah — dalam pengertian konvensional —, tetapi dengan kreativitas dan semangat pantang menyerah. Tetapi dengan wibawanya, Bapak Presiden juga berpesan kepada Farel, menyanyi boleh asal harus tetap sekolah. Dan masih banyak contoh lain, tentang kisah sukses anak yang tidak mengandalkan ijazah. Tentu antara setuju dan tidak setuju. Namun sebaliknya pula, banyak juga bahkan lebih banyak lagi, kisah tidak suksesnya anak yang tidak sekolah alias tanpa ijazah. Termasuk juga kisah Ibu Susi Pujiastuti yang hanya lulusan SMP formalnya, dan bisa menjadi Menteri Kabinet Kerja Pak Jokowi, bahkan dengan predikat kerja yang baik.
Sekolah meskipun banyak yang beranggapan tidak menjamin kesuksesan, tetapi ternyata anggapan itu muncul dari mereka yang sukses dan kemudian diekspos, kebetulan pula tidak berijazah. Tentu harus digaris bawahi bahwa lebih banyak yang malu untuk mengekspos karena tidak sesukses mereka. Anggapan orang sekolah terus menganggur adalah keliru. Ini yang ingin penulis tekankan.
Kurikulum merdeka menurut penulis berdasarkan kisah Farel di atas adalah penengah antara 2 pendapat ini. Anak harus sekolah, tetapi silahkan asah dan salurkan minat dan bakatmu di mana dan kapan saja. Benar sekolah tidak menjamin kesuksesan, tetapi yang menentukan kesuksesan adalah anak itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, anak silahkan berkarya, menyalurkan minat bidang apapun, tetapi tetap harus sekolah resmi.
Poin utama dalam Kurikulum Merdeka yaitu tentang Profil Pelajar Pancasila, yang mengandung aspek utama Beriman dan Berakhlak Mulia. Nilai tentang keimanan dan akhlak mulia ini merupakan materi pertama dalam Mapel Pendidikan Agama Islam. Keimanan adalah nilai yang mengatur hubungan dengan Sang Maha Kuasa. Akhlak Mulia berhubungan dengan ciptaan-Nya. Anak SD untuk keimanan yang utama dan sebaiknya lebih menitik beratkan pada kewajiban sholat dan kemampuan Baca Tulis Al-Qur’an. Jadi sudah seharusnya ada alokasi waktu sendiri untuk kedua materi ini. Bahkan opsi untuk bekerjasama dengan Lembaga Non Formal sangat terbuka lebar dan tampaknya harus, agar aspek dari Nilai Profil Pelajar Pancasila yang selanjutnya dapat lebih di capai. Berkebhinakaan global, gotong royong, mandiri, kreatif dan bernalar kritis adalah nilai nilai selanjutnya. Kenapa demikian? Karena interaksi guru dengan masyarakat, murid dengan masyarakat, baik itu wali murid, tokoh lingkungan, maupun masyarakat luas lebih terjalin dengan baik. Ini yang sudah berjalan di lembaga Penulis.
Penulis: Priyo Susilo Utomo
Penyunting: Putra