Bukan Hanya Karena Seorang Guru
Berangkat dari seseorang yang tidak mempunyai latar belakang ilmu psikologi perkembangan, mungkin tidak elok jika saya harus mengambil langkah untuk menulis artikel ini. Walaupun seorang guru, latar belakang pendidikan saya juga bukan dari jurusan keguruan. Jadi tidak sedikitpun mendapatkan ilmu psikologi pendidikan pada saat di bangku kuliah. Namun secara tidak langsung saya ataupun Anda sekalian mungkin pernah belajar dari pengalaman bahkan mungkin saja belajar secara autodidak dari buku-buku atau bahkan search engine ataupun media sosial (seperti youtube). Dengan status saya sebagai seorang ibu dari dua orang anak dan juga pengalaman membersamai murid beberapa tahun kebelakang, membuat saya memberanikan diri menulis artikel ini. Bukan bermaksud untuk menggurui atau apa yang saya lakukan sudah benar dan sempurna. Ini hanya sekedar berbagi dan menekankan bahwa pengetahuan kita terhadap psikologi perkembangan (utamanya perkembangan anak dan remaja) sangat dibutuhkan, terlebih bagi kita sebagai seorang perempuan yang secara kodrat akan menjadi seorang ibu. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Ini adalah motivasi terkuat kedua saya bahwa perempuan harus mendapatkan ilmu setinggi-tingginya baik secara formal maupun informal.
Apakah saya sebagai seorang ibu telah sukses dalam membersamai anak-anak yang saya lahirkan?
Jawabannya bisa iya bisa juga belum. Saya jawab iya, jika waktunya dibatasi sampai detik ini, ketika saya sedang menulis artikel ini. Berdasarkan bukti bahwa anak-anak saya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik (mungkin akan lebih akurat menurut para ahli) terindikasi mereka tidak memiliki/ mengalami gangguan psikologi. Jawaban kedua mengapa bisa belum? Karena sampai batas kapan saya bisa membersamai mereka dan bagaimana keadaan psikologi mereka ke depan nantinya disebabkan itu belum terjadi (seperti apa yang di tulis Henry Manampiring dalam bukunya The Alpha Girls Guide, bahwa “dalam hidup ini tidak ada yang pasti kecuali mati dan membayar pajak”). Namun seperti ilmu yang pernah saya dapatkan dari dr. Aisah Dahlan, CMHt., CM.NLP. lewat youtube bahwa hidup kita adalah proyeksi dari pikiran kita. Maka saya akan kirimkan pesan kepada setiap sel yang menyusun tubuh saya bahwa saya akan sukses membersamai anak-anak saya dalam hidupnya.
Demikian juga jika ada pertanyaan yang sama untuk anak-anak yang dititpkan (murid) ke saya selaku guru. Jawabannya bisa ya juga bisa belum. Tetapi tentunya proses saya membersamai anak-anak kandung dengan anak titipan (murid) tidak bisa disamakan. Profesi saya sebagai guru lebih kompleks karena ada elemen-elemen pendukung lain yang sedari dini harus tumbuh dan terjaga. Keberhasilan saya sebagai seorang guru dalam membersamai murid sangat tergantung iklim perkembangan psikologi dalam keluarganya. Orangtua mempunyai andil lebih besar dibanding guru. Namun yang perlu kita sadari bahwa, faktor utama mungkin saja tidak akan bisa berkembang dengan baik tanpa adanya faktor pendukung yang baik.
Menyadari hal tersebut bahwa kita sebagai guru mempunyai andil yang penting untuk menyokong tumbuhnya faktor utama tadi. Maka saya pribadi sebagai aktor harus sehat secara mental. Lalu langkah nyata apa yang perlu dan sudah saya lakukan.
- Seperti apa yang sudah Anda sekalian ketahui bahwa, guru harus memiliki 4 kompetensi yaitu kompetensi professional, kompetensi pedagogi, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Masing-masing kompetensi tersebut harus terus guru kembangkan dan seimbang. Contoh ketika seorang guru lebih cakap dalam kompetensi profesional dan mengesampingkan kompetensi kepribadian, maka yakinlah generasi penerus akan hancur. Mengapa demikian ? Karena seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa tugas guru bukan hanya mengajar tetapi juga mendidik.
- Dengan menyadari bahwa belajar adalah proses, dan proses adalah sikap/etika/karakter, maka kita akan terhindar dari kata “memaksa” anak untuk pintar (mendapatkan nilai bagus/sempurna). Mengapa hal ini penting ? kembali lagi ke poin pertama mengenai tugas guru. Jika guru hanya berperan sebagai pentransfer ilmu pengetahuan /informasi, maka kita sudah kalah oleh search engine. Ditambah lagi perkembangan teknologi dewasa ini sangatlah pesat.
- Dengan menanamkan nilai pada diri bahwa tugas guru bukan hanya mengajar tetapi juga mendidik, maka ada istilah bahwa guru adalah orangtua kedua. Dengan tertanam semangat mendidik maka akan ada interaksi yang lebih “spesial” antar guru dan murid. Karena dengan begitu tugas guru bukan hanya sekedar memberi tahu bahwa dinding sel hanya terdapat pada sel tumbuhan dan salah satu unsur intrinsik cerpen adalah amanat. Jadi hubungan ini tidak hanya sekedar pemenuhan kebutuhan administrasi yang “kebenarannya” terus mengalami perubahan tiada henti.
Indikator interaksi antara guru dan murid adalah interaksi yang spesial, yaitu sadari bahwa setiap mereka adalah berbeda dengan kelebihan dan kekurangannya. Maka cara kita melayani mereka juga akan berbeda. Guru yang juga mengerti akan perkembangan psikologi anak tidak akan “mempermalukan “ anak dihadapan teman-temannya dan memberikan label-label negatif. Indikator selanjutnya adalah guru akan berkata-kata yang baik dan bertindak positif. Guru sebagai teladan akan lebih mudah mengubah murid dibanding guru sebagai tukang “memerintah”. Kalaupun mungkin pada kenyataannya terasa lama perubahan itu terjadi, tapi yakinlah perubahan itu akan awet melekat karena motivasi internal yang ditanamkan.
Berdasarkan teori The Law of Attraction (sebenarnya saya belum pernah membaca bukunya, hanya pernah mendengar kajian yang menyinggung tentang hukum tersebut) apa yang kita pikirkan, apa yang kita bayangkan akan terkirim ke setiap sel di seluruh tubuh kita yang itu akan membawa aksi dan hasil seperti input awal. Maka saya dan Anda sekalian harus membiasakan diri berpikir, bermimpi, bertindak, berucap yang baik terhadap siapapun disekitar kita. Terlebih kepada murid karena status kita sebagai guru. Sebagai orangtua atau guru, kita harus memerankan banyak peran sesuai kebutuhan yang harusnya anak dapatkan. Terlalu egois rasanya jika kita merasa selalu lebih pintar dan paling banyak pengalaman. Karenanya bukan suatu hal yang tabu jika kitapun selaku orangtua atau guru belajar dari anak-anak. Pengalaman kita belum tentu paling baik dan sesuai dengan kondisi mereka saat ini dimana telah terjadi perubahan yang luar biasa dari zaman kita anak-anak dengan zaman sekarang. Untuk itu perlu kiranya kita mendengarkan bahkan mempertimbangkan ide-ide dari mereka.
Predikat guru tersabar versi murid SMP Negeri 1 Cikedal pada acara Hari Guru Nasional tahun 2022 tidak cukup dan bahkan masih sangat kurang cukup untuk membuktikan bahwa saya adalah guru yang berhasil dan menguasai perkembangan psikologi anak/remaja. Oleh karenanya saya perlu belajar dan belajar lagi untuk terus bisa membersamai mereka. Utamanya karena guru yang terus mau mengajar dan mendidik tidak akan pernah berhenti untuk belajar. Terlebih lagi bahwa alam dan zaman terus mengalami perubahan. Selain itu kompleksitas tugas guru saat ini makin meningkat, terlebih bagi sekolah dengan status sekolah penggerak. Sungguh sangat dilematis, di satu sisi guru harus dapat secara berkesinambungan memantau dan membersamai proses perkembangan murid, di sisi lain guru juga disibukkan dengan kegiatan yang secara nyata dapat mengurangi kuantitas pertemuan. Tak bisa dipungkiri bahwa kuantitas pertemuan juga akan memengaruhi kualitas kebersamaan. Seperti sinetron/film yang mungkin diambil dari kisah nyata, ketika orangtua (ayah/ibu) sebagai pekerja yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah, mereka mendapatkan anak-anaknya dalam permasalahan psikologis. Hal itupun yang menjadi kekhawatiran saya selaku guru terutama wali kelas.
Lalu bagaimana upaya saya untuk memecahkan masalah tersebut? Berperanlah bukan hanya sebatas seorang guru (walaupun tugas guru bukan hanya mengajar tetapi juga mendidik) tetapi bayangkan bahwa murid-murid adalah anak kandung yang kita lahirkan sehingga interaksi emosional lebih terbangun. Dengan interaksi yang baik, saya harap kita semua terhindar dari sikap masa bodoh karena menganggap murid adalah orang lain. Selain itu juga komunikasi dengan orangtua pertama (ayah/ibu) mereka sangatlah penting. Dengan predikat sama sebagai orangtua, maka sikap guru dengan orangtua wali murid haruslah selaras. Diharapkan semua orangtua wali murid memahami ilmu parenting (yang susah ditemui untuk orangtua wali murid dengan pendidikan rendah dan latar belakang ekonomi rendah). Jika demikian kondisinya akan lebih baik jika pihak sekolah membantu memfasilitasi orangtua murid mendapatkan ilmu parenting dengan menghadirkan narasumber yang ahli di bidangnya. Karena untuk bergerak dan berjalan akan lebih cepat jika kedua kaki bekerja beriringan.
Apakah upaya tersebut sudah dilakukan dengan sempurna?
Tentu belum. Saya masih dalam tahap beradaptasi dan membangun interaksi yang “spesial” itu.
Penyunting: Putra