Ketika Anak “Pintar” Justru Takut Bertanya - Guruinovatif.id

Diterbitkan 23 Jun 2025

Ketika Anak “Pintar” Justru Takut Bertanya

Di sebuah kelas matematika, seorang anak yang selalu meraih nilai tertinggi justru terlihat paling jarang bicara. Saat diskusi berlangsung atau guru melempar pertanyaan terbuka, ia sering menunduk, menahan diri, dan baru angkat tangan kalau sudah benar-benar yakin jawabannya tepat.

Refleksi

Dwi Istanto, S.Pd., M.Sc.

Kunjungi Profile
56x
Bagikan

Di sebuah kelas matematika, seorang anak yang selalu meraih nilai tertinggi justru terlihat paling jarang bicara. Saat diskusi berlangsung atau guru melempar pertanyaan terbuka, ia sering menunduk, menahan diri, dan baru angkat tangan kalau sudah benar-benar yakin jawabannya tepat. Anehnya, anak lain yang nilainya tak setinggi itu malah lebih sering aktif bertanya.

Fenomena ini kerap terjadi. Anak-anak yang selama ini kita anggap "pintar"—karena selalu mendapatkan nilai bagus—seringkali juga yang paling takut terlihat salah. Ketika tanya-jawab berlangsung, mereka memilih diam. Ketika diskusi dibuka, mereka menyimak dalam diam. Sebab dalam benak mereka, salah itu bisa meruntuhkan reputasi.

Dan ketika takut salah lebih besar daripada semangat belajar, maka yang terjadi bukan perkembangan—melainkan stagnasi.

Rupanya, sejak dini, kita telah menyematkan label “anak pintar” pada mereka yang mendapat nilai tinggi, cepat paham, dan tidak banyak tanya. Tapi label ini datang dengan harga. Anak “pintar” tahu bahwa ekspektasi terhadapnya tinggi. Maka mereka merasa tak boleh salah. Tak boleh keliru. Tak boleh tampak bodoh.

Mereka lalu belajar bukan untuk memahami, tapi untuk mempertahankan gelar tidak resmi itu: si juara kelas, si teladan, si jenius. Mereka takut bahwa satu kesalahan kecil bisa membuat orang lain meragukan “kepintarannya.”

Akhirnya, proses belajar berubah jadi semacam pertunjukan. Bukan lagi tentang keberanian bereksplorasi, tapi soal menjaga wibawa.

Dalam psikologi pendidikan, fenomena ini dijelaskan oleh Carol Dweck melalui konsep fixed mindset dan growth mindset. Anak dengan fixed mindset percaya bahwa kemampuan itu bawaan dan tetap. Maka mereka fokus menjaga citra: pintar atau tidak. Mereka takut gagal, karena kegagalan seolah jadi bukti bahwa mereka “tidak pintar.”

Sebaliknya, anak dengan growth mindset percaya bahwa kemampuan bisa berkembang. Mereka tidak terlalu takut salah, karena bagi mereka, salah adalah bagian dari proses.

Ironisnya, sistem pendidikan kita justru cenderung menumbuhkan fixed mindset. Kita lebih sering memuji hasil (nilai tinggi, ranking) daripada usaha. Kita menyoroti jawaban benar, tapi jarang membedah proses berpikir yang keliru. Maka tidak heran kalau anak-anak justru tumbuh takut bertanya, takut mencoba, takut gagal.

Dalam tradisi keilmuan Islam, mencari ilmu adalah ibadah yang justru dimulai dari rasa kurang, dari kesadaran bahwa kita tidak tahu. Para ulama klasik seperti Imam Syafi’i menyatakan, “Semakin aku tahu, semakin aku sadar bahwa aku tidak tahu.”

Nabi Muhammad SAW sendiri mendorong para sahabat untuk bertanya, bahkan dalam hal-hal yang dianggap remeh. Tidak ada yang dipermalukan karena bertanya. Tidak ada yang dilecehkan karena salah. Yang penting adalah niat dan prosesnya.

Dalam kerangka tarbiyah, anak di didik untuk bertumbuh secara utuh: akal, jiwa, dan sikap. Bukan cuma diberi label, tapi ditumbuhkan perlahan dengan empati.

Sayangnya, budaya sekolah kita masih menyempitkan arti “pintar” pada nilai, kecepatan tangkap, dan kemampuan menjawab benar. Maka anak-anak belajar mengejar label itu, bukan mengejar makna. Mereka tidak benar-benar paham, hanya menghafal. Mereka tidak berani bertanya, karena takut jatuh dari singgasana juara kelas.

Padahal belajar yang sehat adalah proses penuh coba-coba, salah, koreksi, dan tanya. Anak yang aktif bertanya bukan berarti tidak tahu, justru sedang meniti pemahaman. Sebaliknya, anak yang diam bisa jadi sedang menyembunyikan rasa takutnya sendiri.

Sudah waktunya kita membebaskan anak-anak dari beban “pintar” yang membungkam keberanian bertanya. Sekolah harus memberi ruang aman untuk keliru. Guru harus memberi isyarat bahwa pertanyaan, bahkan yang paling sederhana pun, adalah tanda dari akal yang bekerja.

Kita perlu mengganti pujian seperti “Kamu memang pintar!” menjadi “Kamu terus berusaha, itu hebat.” Kita perlu menggeser fokus dari hasil ke proses. Dari siapa yang benar, ke siapa yang berani mencari.

Karena di luar sekolah nanti, yang dibutuhkan bukan hanya pengetahuan, tapi keberanian bertanya, berpikir, dan bersuara.

Jangan buru-buru menilai anak pendiam sebagai pemalu. Bisa jadi, ia hanya terlalu takut keliru karena terlalu lama digantungkan harapan “anak pintar”. Dan jangan pula remehkan anak yang rajin bertanya—barangkali, dialah yang sedang benar-benar belajar.


Penyunting: Putra

0

1

Komentar (0)

-Komentar belum tersedia-

Buat Akun Gratis di Guru Inovatif
Ayo buat akun Guru Inovatif secara gratis, ikuti pelatihan dan event secara gratis dan dapatkan sertifikat ber JP yang akan membantu Anda untuk kenaikan pangkat di tempat kerja.
Daftar Akun Gratis

Artikel Terkait

ARABIC CAMP SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN YANG INTENSIF DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBAHASA ARAB
Bagaimana Seni Membantu Peserta Didik Secara Akademis?

Dwita Nurcahyani

Sep 20, 2021
2 min
Alarm Peringatan Dini "Penguatan Karakter"

Yudha Adi Putra

Jul 21, 2022
1 min
Tantangan menjadi guru di tengah kemajuan zaman
5 Tips Praktis agar Siswa Gemar Membaca
2 min
Komunitas