Membumikan Empati Untuk Mengikis Perbedaan Kultural - Guruinovatif.id: Platform Online Learning Bersertifikat untuk Guru

Diterbitkan 23 Apr 2022

Membumikan Empati Untuk Mengikis Perbedaan Kultural

Guru merupakan sebuah profesi yang terdiri atas empat huruf. Rasanya sangat sederhana. Namun, pengabdian seorang guru tidak sesederhana jajaran empat huruf tersebut. Siapa yang bisa menduga berawal dari keinginan  sejak di bangku SMP untuk menjadi guru bahasa Indonesia. Kini, saya bisa benar-benar duduk di bangku guru di hadapan peserta didik.

Cerita Guru

Winda Dewi Pusvita, M.Pd.

Kunjungi Profile
609x
Bagikan

Guru merupakan sebuah profesi yang terdiri atas empat huruf. Rasanya sangat sederhana. Namun, pengabdian seorang guru tidak sesederhana jajaran empat huruf tersebut. Siapa yang bisa menduga berawal dari keinginan  sejak di bangku SMP untuk menjadi guru bahasa Indonesia. Kini, saya bisa benar-benar duduk di bangku guru di hadapan peserta didik.

Salah satu sekolah swasta yang berada di pusat kota adalah dermaga tempat saya berlabuh setelah selesai menempuh jenjang magister. Sekolah yang tidak berada tepat di pinggir jalan raya. Garis takdir menuntun saya ke sini untuk menempa banyak hal yang belum saya peroleh sebelumnya. Sekolah yang memisahkan kelas antara peserta didik putra dan putri. Perbedaan budaya merupakan salah satu ciri khas sekolah tempat saya bernaung.

Sekolah ini memiliki peserta didik dengan latar belakang kemampuan yang berbeda. Beberapa suku ada di satu ruang kelas, seperti suku Jawa, suku Arab, suku campuran antara Arab dan Melayu, serta suku Madura. Hal lain yang menurut saya istimewa  adalah sekolah ini menerima peserta didik dari kalangan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang kemudian biasa kita sebut dengan inklusi.

Di sekolah inilah seakan kehidupan kedua saya dimulai. Tantangan yang harus dilalui untuk mencapai pembelajaran yang maksimal. Pertama, saya harus beradaptasi dengan perbedaan budaya peserta didik. Kedua, saya harus melatih kesabaran untuk mengajar dengan kondisi peserta didik yang heterogen. Ketiga, saya juga harus mempersiapkan strategi pembelajaran yang dapat dijalani seluruh peserta didik. Keempat, perhatian saya tidak boleh lekat pada peserta didik tertentu, harus dibagi rata, adil, dan objektif. Kelima, dari segi akademik kriteria penilaian harus mampu dibedakan untuk peserta didik yang memiliki kemampuan intelegensi tinggi, sedang, dan inklusi. Untuk poin kelima ini, sekolah sepakat membuat perangkat pembelajaran yang membedakan antara peserta didik dengan intelegensi tinggi, sedang, dan inklusi. Tentunya dengan tujuan semua peserta didik memperoleh haknya untuk mendapatkan pembelajaran yang maksimal dan ilmu yang memadai.

Tantangan demi tantangan bukan membuat saya semakin lemah dalam meniti karir saya, justru saya semakin kokoh. Ibarat roti, adonan yang dibanting-banting sekian kali justru akan menghasilkan roti yang rasanya lebih nikmat dibandingkan dengan hanya dibanting beberapa kali. Begitu juga dengan saya, tantangan adalah sarana untuk membuat hati semakin kuat dan pikiran semakin tajam. Saya dapat memetik banyak pelajaran diantaranya. Pertama,  sebagai manusia saya patut lebih bersyukur karena memiliki kesempatan duduk di bangku guru. Banyak yang memiliki cita-cita tinggi. Namun, cita-cita tersebut masih sebatas angan. Kedua, Saya sadari bahwa kesabaran mulai terlatih saat menghadapi ke-heterogen-an peserta didik di kelas. Peserta didik yang ramai, terlalu aktif, mengantuk, datang terlambat, dan lain sebagainya adalah sarana saya untuk mencari solusi mengatasi hal tersebut. Salah satu solusinya adalah membuat saya berada di hati mereka. Ketiga, secara sadar saya memupuk nilai empati untuk diri saya sendiri dan hal itu dapat saya  tularkan kepada peserta didik di kelas.

Saya pahami, bagi mereka tentu tidak mudah berada satu kelas dengan teman yang memiliki kebutuhan khusus atau yang memiliki kemampuan bernalar berada setingkat lebih rendah. Tapi, saya pkir hal tersebut bisa luntur jika setiap waktu saya beserta guru yang lain berusaha semaksimal mungkin untuk membumikan empati di hati mereka. Berharap saya dan mereka bisa menerima satu sama lain tanpa memandang perbedaan yang jelas ada di depan mata.

Guru yang berhasil adalah mereka yang mampu membuka gerbang hati peserta didik untuk menerima keberadaan guru tersebut. Jika guru sudah berada di hati mereka maka bukan tidak mungkin pembelajaran yang disampaikan akan diterima dengan baik. Menurut saya, kunci keberhasilan sebuah pembelajaran adalah terbentuknya nilai sikap yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini juga ada di Kurikulum Merdeka. Kurikulum yang mengedepankan sikap Pancasila untuk menyongsong generasi Indonesia yang berakhlak mulia. 

0

0

Komentar (0)

-Komentar belum tersedia-

Buat Akun Gratis di Guru Inovatif
Ayo buat akun Guru Inovatif secara gratis, ikuti pelatihan dan event secara gratis dan dapatkan sertifikat ber JP yang akan membantu Anda untuk kenaikan pangkat di tempat kerja.
Daftar Akun Gratis

Artikel Terkait

Tingkatkan Kompetensi Guru di Era Digital Melalui Lomba Menulis Artikel Guru Inovatif

Riky Aprilianto

Apr 01, 2022
3 min
Problem Solving Guru Inklusi Sekolah Dasar

DONO SETIAWAN

Jul 02, 2022
3 min
Karena Semua Guru Berhak Bahagia
kisahku menjadi Guru Madrasah
10 min
Belajar Matematika Mudah, Asyik, dan Menyenangkan di Era Digital
13 min

Guru Inovatif

Jam operasional Customer Service

06.00 - 18.00 WIB